Dokter Agam berjalan dengan tergesa menuju ruangan Cean. Padahal hanya sebentar dia meninggalkan anak itu, tetapi sudah ada hal buruk yang terjadi. Cean ditemukan tidak sadarkan diri dengan luka lebar di pergelangan tangannya. Sepertinya anak itu berniat mengakhiri hidupnya sendiri.Untung saja Cean masih bisa selamat karena Dokter Gema bertindak cepat. Anak itu terpejam dengan sangat damai sampai-sampai Gema merasa bahwa Cean hanya menginginkan keheningan dalam hidupnya.
"Dimana lagi orangtuanya?" gumam Dokter Gema ketika melihat tak ada satupun sanak saudara Cean baik di dalam maupun di luar ruangan.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Dokter Gema pada seorang suster yang tengah membenarkan infus Cean.
"Saya tidak tahu jelas, Dok, tetapi sebelum saya menemukannya dalam keadaan seperti ini ada sepasang suami istri terlihat bertengkar di luar ruangan. Saat saya ingin memisahkan mereka berdua, wanita itu langsung pergi dan diikuti oleh suaminya."
Tangan Dokter Gema mengepal kuat menahan emosi. Menghembuskan napas panjang, pria itu menatap lekat wajah Cean yang terlihat polos dan juga lugu. "Kamu anak baik." Dokter Gema mengelus tangan Cean sembari tersenyum pilu. Dia tahu bahwa Cean menyembunyikan seribu penderitaan di dalam dadanya.
Sebenarnya masih banyak pasien lain yang harus Dokter Gema layani, maka dari itu dia tidak bisa menemani Cean seharian di sini. Gema bimbang jika meninggalkan Cean sendiri, takut jika akan terjadi hal buruk di luar perkiraannya.
Maka dari itu, Dokter Gema pun menyuruh seorang perawat untuk tetap berada di ruangan ini, menjaga Cean sampai dia kembali.
***
Hilda merenung, memikirkan kembali perkataan mantan suaminya beberapa saat yang lalu. Wanita itu mengibas rambutnya ke belakang ketika angin bertiup kencang. Eloknya bunga di taman ini tidak mampu merubah kondisi hatinya.
Meskipun dia bersikap seolah tidak mempunyai kesalahan apa pun, tetapi hatinya berkata lain. Bohong jika Hilda tak merasakan resah dan juga gelisah. Anaknya masih berada dalam kondisi kritis. Hilda juga tidak tahu sejak kapan perasaannya jadi sering bimbang begini.
Faktanya Hilda malu untuk mengakui bahwa Cean adalah orang yang paling dia khawatirkan saat ini. Gengsinya terlalu besar untuk menunjukan apa yang dia rasakan. Di sana pasti masih ada Agam, pria itu hanya akan mengejeknya jika tahu bahwa Hilda bisa luluh dengan cara yang mudah.
Akan tetapi, Hilda juga tidak mau terus menerus menunggu Agam pergi seperti yang saat ini dia lakukan. Wanita itu takut jika ada hal buruk yang terjadi pada Cean. Menurunkan rasa gengsinya, Hilda beranjak dari tempat duduk dan pergi ke ruangan Cean. Persetan jika nanti menemui mantan suami yang sangat ia benci.
Dia membuka pintu ruangan Cean dengan pelan agar tidak membuat anaknya terbangun. Di sana ada seorang suster yang mungkin baru memberikan obat. Hilda menyuruh suster itu keluar karena saat ini ada dia yang akan menjaga anaknya.
Meskipun di awal sempat terlibat perselisihan, suster itu pun menyerah dan memilih meninggalkan dia berdua dengan Cean. Senyum puas terpatri indah di bibirnya.
Entah mengapa, menunggu anaknya untuk bangun membuat matanya mengantuk. Ternyata semelelahkan ini. Hilda menjatuhkan kepalanya di atas ranjang lalu ikut tertidur tanpa dia sadari.
"Ibu peri!"
Hilda tersentak ketika suara itu berulang kali memenuhi gendang telinganya. Ruangan yang dia lihat tidak lagi berwarna putih, melainkan sebuah tempat dipenuhi rumput hijau serta kabut tipis di sekelilingnya.
Awalnya Hilda berpikir bahwa ini hanya mimpinya saja. Akan tetapi, ketika melihat dua orang yang mengenakan pakaian putih berjarak sekitar dua meter dihadapannya membuatnya dilanda kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...