Baru saja Dokter Gema keluar dari ruangan Cean, dia langsung disambut oleh kehadiran seorang pria dan wanita yang membuat bibirnya melengkung ke bawah. Raut wajah cemas itu membuatnya takut untuk memberikan kabar tentang Cean. Anak malang itu sudah tidak dapat tertolong lagi.
"Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" Pria itu menatap Dokter Gema penuh harap sedangkan sang wanita yang Gema asumsikan sebagai ibunya hanya melirik acuh tak acuh.
Dokter itu bergeming lalu perlahan memberanikan diri menatap kedua orang dihadapannya. "Cean sudah melewati masa kritisnya. Anak itu mengalami dehidrasi karena tubuhnya tidak mendapatkan nutrisi selama berhari-hari."
Hilda melengos mendengar penuturan Dokter Gema. Sungguh, setelah bertemu Nathan tadi, rasa pedulinya pada anaknya langsung menguap begitu saja.
"Sebenarnya ada satu lagi yang harus saya sampaikan," kata Dokter Gema.
"Apa, Dok?" tanya pria itu tidak sabaran.
"Sel tumor yang ada pada otaknya sudah menyebar seperti kanker hingga ke bagian penting pada tubuhnya. Dia mungkin akan kesulitan untuk bergerak, maupun mengingat hal-hal penting dalam hidupnya. Cean akan sering mengeluh kesakitan karena penyakitnya sudah tidak bisa diobati."
"Apa?!" Pria itu tiba-tiba saja berseru marah, menatap tidak percaya pada Dokter yang baru saja memberitakan anaknya terkena penyakit mematikan.
"Sejak kapan Cean terkena kanker?" Tenggorokannya terasa tercekat. Agam tahu, bahwa penderita kanker sangat sulit untuk diobati. Anak yang waktu bayi selalu dia jaga dengan sepenuh hati, kini malah ingin pergi. Dunianya seakan runtuh saat itu juga.
"Dia tidak pernah benar-benar sembuh sejak kecil. Tumor yang dulunya saya kira sudah hilang, malah semakin membesar dan menyakiti dirinya sendiri. Benturan yang dia alami beberapa kali juga semakin memperparah kondisinya."
Dada pria itu turun naik, dia mengepalkan tangannya dengan kuat. "Mengapa anda menyerah begitu saja untuk memperjuangkan anak saya? Anda seorang Dokter, harusnya bisa melakukan apa saja untuk kesembuhannya."
Dokter Gema menarik napas panjang. "Saya sudah bilang untuk melakukan kemoterapi, tetapi anak itu sangat sulit untuk dibantah. Dia menolak semua perawatan yang kami berikan."
"Apa tidak ada cara lain, hah? Bukankah sebelum tumor itu merebak menjadi kanker Cean masih bisa melakukan operasi?"
"Memang bisa, tetapi ketika Cean datang kemari dia sedang dalam keadaan tidak siap untuk diberikan pengobatan sehingga sekarang semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Maaf, tapi selama ini anak anda hanya berjuang sendirian," sindirnya kepada wanita yang ada di sebelah Agam.
"Tolong anak saya, Dokter," pinta Agam dengan mata berkaca-kaca. "Lakukan apa pun untuk Cean. Saya mohon, selama ini saya belum bisa membahagiakan dia. Selama ini ternyata saya salah telah membiarkan dia hidup bersama ibunya."
Dokter Gema kembali merenung, memikirkan hanya ada satu cara di otaknya. "Hanya kemoterapi jalan terakhirnya. Saya sudah pernah membujuknya untuk melakukan pengobatan itu, bahkan saya tidak mempermasalahkan biasanya, hanya saja anak itu tidak mau. Waktu itu saya hanya sempat melakukan kemoterapi padanya sebanyak satu kali, itu pun ketika dia sedang dalam keadaan tidak sadar."
"Jika bisa, tolong buat dia kembali menemukan semangat hidupnya. Buat dia merasakan bahwa hidupnya begitu berarti bagi orang lain di sekitarnya. Selama ini anak itu sudah kehilangan gairahnya untuk bertahan. Cean sangat membutuhkan sosok ayah dan juga ibu sebagai penyemangatnya."
Agam menatap mantan istrinya dengan murka. Ingin marah, tetapi ketika sadar bahwa wanita ini juga sakit, perasaanya kembali dirundung lara. "Apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya, Hilda?" geramnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...