Setelah mengantarkan Radit tadi, Cean merasa ada yang aneh dari dirinya. Seharusnya dia marah kepada Chyra atas perbuatannya di kantin, lalu membalaskan dendam kepada adiknya tadi. Akan tetapi, ketika melihat bagaimana tatapan tak berdaya yang dilayangkan oleh adiknya itu membuat Cean merasakan hal yang sama. Seakan ada jiwa yang turut merasakan kepedihan karenanya.Awalnya Cean kira kepulangannya kali ini akan terasa sama saja. Mamanya tak mungkin pulang ke rumah, apalagi ayah tirinya. Namun, ketika melihat sebuah mobil terparkir rapi di halaman depan membuat jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.
Belum saja Cean sadar siapa yang ada di dalam, lengannya terlebih dahulu ditarik dengan kencang. Menyadari bau alkohol yang menyengat dari orang di hadapannya, Cean tahu jika kali ini dia akan dijadikan samsak ketika ibunya sedang tidak baik-baik saja. Tak ada jalan lain, lelaki itu pun memilih pasrah apa pun yang akan terjadi. Lagipula, kehadirannya hanyalah aib, sangat wajar jika ibunya memperlakukan seperti ini.
Wanita itu membawa Cean di gudang yang berada di lantai dua. Kebetulan sekali gudang itu belum dibersihkan sejak kepindahan mereka beberapa minggu yang lalu. Dengan sedikit tertatih dan napas tersengal, Cean berusaha menghentikan langkah ibunya.
"Bunda, hari ini Cean enggak ada salah 'kan sama Bunda? Kenapa Bunda mau hukum Cean lagi?"
"Enggak ada salah kamu bilang?" Raut wajah bundanya mengeras. Jelas sekali jika dia ingin menghabisi seseorang yang sudah meruntuhkan dunianya. "Kamu itu kutukan bagi saya, Cean. Harusnya kamu sudah saya bunuh dari lahir. Kamu hanya menyusahkan hidup saya. Saya benci! Benci!"
Bundanya meraih kedua pundak Cean lalu menggoyangkannya dengan frustasi. "Kenapa kamu enggak mati aja kemarin? Kenapa masih bisa selamat pa-padahal saya sudah menabrak kamu dengan keras?"
Wanita itu terlihat semakin gemetar. Dia menyentuh kedua pipi Cean hingga anak itu merinding di buatnya. "Jika kamu mati, mungkin sekarang kamu sudah bertemu dengan ayahmu itu. Mungkin sekarang kamu sudah bahagia. Begitu pula saya dan suami saya. Saya akan bahagia jika kamu tiada, Ceano Aquilla!"
"Bu-bunda." Cean meraih kedua tangan bundanya. Rasanya sakit seakan ditikam ribuan belati. Wajah indah yang saat ini sedang ia tatap menginginkannya tiada. Sehina itukah dirinya? "Kenapa Bunda tega sama Cean? Apa salah Cean sama Bunda?"
"Selama ini Cean udah berusaha untuk jadi anak yang baik agar bisa membahagiakan Bunda, tetapi kenapa Bunda tidak pernah mau melirik Cean sekali saja?"
"Karena kamu anak haram!"
Cean bergeming. Kata-kata itu sudah sering keluar dari mulut ibunya, tetapi kenapa masih sesakit ini untuk menerimanya. Sesaat kemudian bundanya berdiri kemudian meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya tepat di hadapan Cean.
"Gara-gara kelahiran kamu, saya dibuang dari keluarga saya. Rahim saya diangkat sehingga tidak bisa memiliki anak lagi."
"Gara-gara kamu suami saya pergi meninggalkan saya sendiri. Saya gagal! Saya gagal membahagiakan suami saya, padahal hanya dia yang ada di saat-saat terburuk saya!" Wanita itu terlihat ketakutan. Dia memeluk dirinya sendiri kemudian menggigiti kukunya sembari melihat kanan dan kiri seperti orang kebingungan.
"Bukannya papa cuman pergi kerja di luar kota?"
"Tidak!" Setitik air mata bening menetes dari pelupuk mata bundanya. "Dia pergi karena saya tidak bisa mempunyai anak lagi! Dan dengan bodohnya saya memilih untuk merawat kamu yang sakit-sakitan."
"Penyesalan itu selalu hadir di setiap malam dan membuat saya ketakutan. Saya tahu kamu punya phobia di tempat gelap, makanya saya selalu mengurung kamu di gudang agar kehabisan napas. Beberapa kali saya melakukan itu untuk membunuh kamu, tetapi kenapa kamu tidak pergi? Kenapa kamu masih bisa selamat?"
Cean menahan isakannya dalam-dalam. Beberapa kali remaja itu meremas serpihan vas di depannya hingga tangannya mengeluarkan darah yang lumayan banyak sebagai pengalihan rasa sakitnya. "Apa Cean benar-benar udah enggak ada harapan di dalam hati Bunda?"
"Ada! Dengan kamu mati, maka saya akan memaafkan semua kesalahan kamu."
"Kalau begitu silahkan bunuh Cean sekarang, Bunda." Cean mengambil sebuah pisau lipat yang entah kapan sudah berada dalam genggamannya lalu menodongkannya di hadapan bundanya.
"Cean udah ikhlas. Semoga aja setelah ini Bunda bisa bahagia dan kembali bersama dengan papa." Ceano tersenyum simpul, memasrahkan hidupnya berakhir di tangan bundanya sendiri.
Bundanya tetap tak bergerak ketika Cean menyerahkan pisau itu. Tatapannya kosong, padahal ini adalah kesempatan yang sangat ia tunggu-tunggu.
"Sebentar, ya, Bunda." Cean menyingsing kaos lengan panjangnya hingga terpampang banyak goresan yang sudah mengering. Bunda nampak terkejut, tetapi dengan sekejap merubah raut wajahnya menjadi biasa saja. "Bunda bisa gores pisau itu di lengan Cean yang ini." Dia mengarahkan tangan bundanya tepat ke urat nadinya di sebelah tangan kanan.
"Bunda bisa langsung potong kayak waktu Bunda lagi motong sayur-sayuran. Langsung, sret-sret, aja. Selesai deh! Jangan gores bagian tangan Cean yang lain. Soalnya kalau itu Cean udah sering, nanti aku matinya lama, terus Bunda juga lama bahagianya. Cean 'kan anaknya nyusahin." Lelaki itu tertawa perih hingga sudut matanya berair.
"Usahain lakuin yang cepat, ya, Bun. Cean juga pengen pergi dengan cepat. Biar cepet juga ketemu sama ayah." Masih dengan tersenyum, Cean memeluk bundanya dengan erat. Senyumannya semakin lebar ketika merasa bunda ikut membalas pelukan terakhirnya. "Cean itu sayangggg banget sama Bunda. Setelah ini Bunda harus anggap Cean sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Cean rela lakuin apa aja untuk Bunda dan-"
Suara itu tercekat ketika sebuah pisau menancap pada punggungnya. "Bunda gimana, sih. Cean masih mau peluk Bunda sekarang. Bunda jahat. Kalau ditusuk di situ, Cean matinya kelamaan, Bunda. Kenapa enggak di perut a-atau di le-lengan a-aja ta-tadi. K-kan-" Suara anak itu terputus bersamaan dengan linangan air yang merembes turun dari matanya serta kalimat yang belum usai dia ucapkan.
Wanita itu tercenung sejenak ketika tubuh anaknya meluruh dari dekapannya. Dia menyabut pisau yang tadi sempat ditusukkan di punggung Cean. Tangannya gemetar saat darah itu langsung mencuat dan menyebar semakin banyak dalam beberapa detik. Mata anaknya pun juga ikut terpejam. "Cean bangun. Saya belum nyuruh kamu mati! Saya bukan pembunuh!" Bunda berteriak sekuat yang ia bisa.
"Tolong! Tolongin anak saya! Saya bukan pembunuh! Enggak! Saya bukan pembunuh! Dia yang minta saya tusuk! Cean! Ja-jangan ...."
***
Akhirnya bisa update setelah hampir 3 Minggu akun wattpad aku enggak bisa dibuka. :(
I'm so sorry.Minggu, 23 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...