Di malam yang gelap ini menjadi saksi seorang remaja berkulit putih itu berdiam diri. Dipinggir balkon yang menjadi penghubung kamarnya dengan dunia luar. Remaja itu menyandarkan bahunya pada sebuah kursi lalu menutup matanya sejenak.
Semilir angin tak membuatnya beranjak sedikitpun dari tempatnya. Rasanya terlalu lelah untuk sekedar melihat indahnya sang rembulan dari atas sana. Semesta kini menjadi saksi untuk dia yang sedang patah hati.
Perlahan remaja itu bangkit lalu berdiri di pinggiran balkon. Dia menatap dengan hampa lalu lalang kendaraan di hadapannya. Semuanya terasa kosong, aneh, bahkan remaja itu tak merasa kesakitan kala tangannya ia silet hingga menghasilkan goresan yang cukup panjang. Seakan tangannya itu sudah tak memiliki arti lagi selain untuk disakiti.
Netra biru terangnya lalu berpendar mengamati lahan kosong di bawah sana. Sempat terpikir olehnya untuk melompat saja, tetapi jika ia menyerah sekarang, lalu bagaimana dengan harapannya? Dia tidak ingin terburu-buru menghadap sang pencipta sebelum mendapat maaf dari sang ibunda.
Akan tetapi, mengapa ujiannya begitu rumit? Mengapa harus ada pengorbanan untuk mendapatkan kebahagiaan?
Cean terduduk sembari menyembunyikan kepala pada lipatan kakinya. Remaja itu mengambil sebuah foto dari saku celananya, lalu tangisnya meluruh hanya dalam sekejap saja. Lagi dan lagi ia kembali mengiris lengannya untuk menutupi rasa sakit itu. Untuk menghilangkan rasa yang seharusnya tidak pernah ia miliki agar semuanya menjadi lebih mudah.
Agar tidak ada lagi penghalang baginya untuk menuju akhir bahagia, tetapi mengapa semua orang seakan buta? Semua menganggapnya kuat menghadapi kejamnya dunia. Tidak, dia tidak seperti itu. Bahkan untuk pertama kalinya Cean merasa bimbang untuk menyelamatkan dua orang terpenting dalam hidupnya.
Cinta dan rasa sakit ini membuatnya tak berdaya.
"Pertama, dekati dia lalu hancurkan hidupnya secara perlahan."
Permintaan pertama dari ibunya itu membuatnya terusik. Bagaimana bisa dia menghancurkan hidup seseorang yang kini menjadi salah satu alasannya untuk bertahan hidup? Hidupnya saja sudah hancur, lalu untuk membuat hidup manusia lain lebih hancur, apakah dia sanggup?
Cean tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Nalurinya sebagai seorang manusia terlalu hebat. Dia terlalu baik, meskipun sudah disakiti berkali-kali.
"Jangan pernah jatuh cinta padanya, atau semuanya akan semakin rumit bagimu, Nak."
Memang, perintah orang tua adalah salah satu perintah yang wajib untuk dilaksanakan. Akan tetapi, apakah jatuh cinta juga termasuk di dalamnya? Jika iya, berarti Cean sudah termasuk hamba-Nya yang durhaka. Cean tidak pernah tahu kapan dia akan jatuh cinta kepada orang yang tidak akan menjadi miliknya.
Cean masih menggenggam sebuah foto wanita yang tengah tersenyum dengan lebarnya. Sebuah foto yang belum pernah Cean lihat secara langsung kejadiannya di dunia nyata. Tentang bagaimana kedua bibir itu membentuk lengkungan indah hingga memunculkan kedua lesung pipit di pipinya. Betapa indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini.
Dan untuk pertama kalinya Cean berdoa pada Tuhan untuk membuat gadis di foto ini selalu tersenyum bahagia. Meskipun pada akhirnya, dialah yang akan mengukir duka.
***
Pagi sekali sekitar pukul setengah lima pagi, Cean sudah bangun dan mulai sibuk dengan dapur milik ibunya--yang bahkan tidak pernah digunakan sama sekali beliau. Seumur hidup, mana pernah Cean merasakan yang namanya makan bersama dengan keluarga. Ibunya selalu pergi di saat matahari belum terbit, dan pulang saat Cean sudah terlelap dalam kantuknya. Cean sudah terbiasa dengan kesendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...