📌 Chapter 54: Musnah

70 4 0
                                    


"Kamu yakin?" Pria itu tampak gelisah di tempatnya. Sedari tadi dia tidak berhenti menggigiti kuku di jarinya. Berulang kali dia juga menghela napas kasar karena takut dengan apa yang sebentar lagi akan dia hadapi.

"Kamu enggak apa-apa kan?" Pertanyaan kedua yang dilontarkan tetapi tidak berhasil mengubah rasa cemas yang tengah dia rasakan.

"Aku ... takut."

"Sam, c'mon. Jangan jadi cowok pengecut untuk yang kesekian kali."

Kalimat itu seakan memberikan tamparan bagi Samudra atas segala kesalahan yang pernah dia lakukan. Rindu berdecak sembari berulang kali menepuk pundak pria itu untuk meyakinkannya. "Look at me, Sam!"

Rindu menarik dan menghela napasnya pelan-pelan. "Harus yakin, okei! Aku yakin kamu bisa untuk ngelewati semua ini. Aku tahu ini emang enggak mudah, tapi pelan-pelan aja. Kita hadapin ini sama-sama."

Mendengar perkataan Rindu membuat hati Samudra sedikit lebih tenang tenang. Namun, ketenangannya tidak berlangsung lama ketika seorang pria keluar dari dalam rumah yang sedari tadi mereka intai. Punggung yang besar serta kekar itu membuat Samudra bergemeletuk ketakutan. Katakanlah dia pengecut. Biarlah, karena memang begitu kenyataannya.

"Sebenarnya apa yang kamu mau, Sam?"

Samudra menoleh, lalu dengan senyum kecutnya dia berkata, "Maaf, Rin."

Dinginnya AC di dalam mobil ini tidak membuat Rindu membeku. Darahnya seakan mendidih mendengar jawaban yang baru saja dikatakan Samudra. Dengan rasa kesal yang menjadi-jadi Rindu menjambak rambut Samudra hingga pria itu berteriak kesakitan.

"Astaga, Sam. Inget tujuan awal kamu ke sini! Udah berapa kali aku bilang untuk jangan jadi cowok pengecut! Kamu mungkin bisa aja ditonjok sama ayahnya Chyra di dalam sana, tapi tolong, Sam. Dari awal kamu yang ajak aku untuk bantuin kamu demi Cean, adik kamu sendiri. Sekarang harus kamu yang usaha, Sam. Kamu harus bisa yakinin orang tua Chyra tentang keadaannya yang sekarang. Tolong yakinin mereka bahwa Cean itu tidak seburuk yang mereka pikirkan."

Akhirnya dengan keberanian yang telah Samudra rakit dengann sepenuh hati dia memberanikan diri untuk membuka pintu mobil dengan perlahan. Namun sebelum itu dia berbalik menghadap ke arah wanita yang hari ini mengenakan hijab berwarna abu-abu lalu memberikan senyuman manis sebagai ungkapan terima kasihnya. "Okei. Makasih, ya, Rindu," ungkapnya dengan tulus. Barulah setelah itu dia memantapkan diri untuk keluar dari dalam mobil, berjalan dengan langkah pastinya menuju ke rumah Chyra.

Baru saja Samudra berjalan beberapa langkah seketika jantungnya berdetak lebih cepat saat ayah Chyra menyadari kehadirannya. Tatatapan menghunus itu lagsung tertuju padanya. Samudra telah meyakinkan hatinya bahwa dia tidak akan gentar. Apa pun yang akan terjadi akan dia terima segala konsekuensinya. Semua ini demi Cean. Demi seseorang yang hidupnya sudah tidak lama lagi.

Gemerisik daun-daun kering tak membuat Samudra menghentikan langkahnya. Meskipun beberapa saat setelahnya kejadian tak terduga menghampirinya tanpa aba-aba. Hanya per sekian detik tapi mampu membuat seluruh tubuh Samudra kaku dibuatnya.

Sebuah tamparan melesat di pipi kirinya. Kepala Samudra langsung tertoleh ke samping. Rasa panas dan hangat langsung merambat ke area pipinya. Samudra lantas menyentuh pipinya untuk menetralkan rasa sakit yang tengah dia dera. Pria yang tadi menampar Samudra itu lantas mencengkram lengannya dengan kuat. "Mau apa lagi kamu ke sini, hah?"

Dengan rasa sakit di area lengannya, Samudra berusaha untuk jelaskan maksud dan tujuannya. Namun, sepertinya pria di depannya ini nampak tidak perduli. Terbukti saat baru saja dia ingin ucapkan sebuah kata, tetapi langsung dipotong begitu saja.

"Om, dengerin Samudra dulu-"

"Pergi!" sentak Nathan dengan suara berat hingga membuat Samudra bungkam dibuatnya. "Jangan ganggu anak saya lagi!" lanjutnya.

"Tolong saya, Om-"

"Saya bisa aja laporin kamu ke polisi sekarang atau kamu pergi dari sini? Saya sudah cukup muak melihat wajah kamu. Kalau aja dulu Cean enggak cegah saya untuk laporin segala kejahatan kamu, mungkin sekarang kamu sudah membusuk di penjara. Sudah cukup kamu membuat anak saya trauma. Bajingan seperti kamu seharusnya tidak pantas hidup di dunia."

Rasa bersalahnya kian menjadi. Samudra tahu bahwa ini semua karena kesalahannya. Dia yang dulu hampir melecehkan Chyra. Tanpa sadar dia juga yang menjadi penyebab hidup adiknya hancur. Wajar bila Tuhan menghukumnya dengan cara seperti ini, tetapi apakah dia tidak boleh meminta kesempatan sekali lagi?

Angin bertiup lebih kencang hingga menerbangkan dedaunan kering. Ia seakan memberikan pertanda bahwa yang dilakukan Samudra hari ini akan berakhir sia-sia. Samudra menarik napas panjang. Gundah akan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.

Merasa tak ada pilihan lain, Samudra menjatuhkan lututnya sambil tertunduk dalam. Nathan yang melihat itu pun bingung dibuatnya. Beberapa waktu berlalu akhirnya dia bersujud di bawah kaki ayah dari seorang gadis yang pernah dia sakiti. Tuhan, dia benar-benar menyesal atas apa yang sudah terjadi.

"Om, saya mohon maafkan saya. Tolong dengerin saya kali ini aja, Om. Sekarang Cean lagi kritis. Semua ini enggak seperti yang kalian pikirkan. Pertunangan kemarin itu gagal karena ibunya. Dia sakit keras, Om. Hidupnya berantakan. Samudra cuma pengen jelasin semuanya. Saya enggak mau ada yang nyesal ketika dia udah enggak ada ...," lirihnya sembari mengusap air mata yang merembes di pipinya. "Tolong percaya sama saya, Om. Cean butuh Chyra."

"Saya enggak percaya!" Samudra menatap tak percaya atas apa yang baru saja ayah Chyra katakan. Setelah penjelasan panjang yang dia berikan, mengapa masih saja tidak ada yang percaya? "Sekarang pergi dari sini!" usirnya sembari menunjuk jalan di depan.

"Saya tahu ini cuma akal-akalan kalian berdua aja. Kalian berdua sekongkol untuk mencari perhatian anak saya. Kamu dan dia itu sama saja, sama-sama pembohong. Saya benci dengan seorang lelaki yang tidak bisa menepati janji! Istri saya hampir keguguran karena kejadian malam itu kamu tahu? Jangan bilang apa pun lagi! Sudah cukup. Saya minta kamu pergi sekarang!" perintah Nathan dengan suara menggebu-gebu.

Sebenarnya dari tadi dia menahan keinginan untuk tidak memukul Samudra. Dari tadi pula dia menahan rasa ingin membunuh pria di hadapannya ini. Jika saja bukan di rumahnya, Samudra sudah pasti habis di tangannya. Jika saja bukan karena anaknya, Nathan tidak akan sudi mendengarkan omong kosong pria ini. Cerita menyedihkan yang Nathan asumsikan hanya untuk menarik atensinya saja. Akan tetapi, Nathan tidak sebodoh itu. Dia sudah beberapa kali menghadapi kasus yang sama dan dia bisa menyakini bahwa keputusannya kali ini adalah keputusan terbaik. Nathan akan melindungi keluarga kecilnya dari pria yang sifatnya sama saja seperti dirinya. Benar memang pepatah yang mengatakan bahwa seorang pria yang menyakiti hati seorang wanita, kelak keluarganya juga akan tersakiti.

Sementara dari lantai atas Chyra melihat dan mendengar semua yang Samudra katakan. Dia tidak percaya. Chyra sama seperti ayahnya yang meyakini bahwa perkataan Samudra hanyalah omong kosong belaka. Jika benar keadaan Cean kritis pun Chyra tidak akan peduli. Malah Chyra akan doakan semoga cepat mati.

Samudra berdiri lalu menepuk celananya yang kotor. Dia menghela napas pasrah. Hatinya terasa sakit sekali. Sesak ini masih tertinggal di rongga dada. Bahkan di saat langkahnya sudah menjauh dari ayah Chyra tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun, Samudra tetap merasa ada yang tertinggal. Rasanya sama seperti ketika ada sebuah permintaan yang belum tersampaikan.

===

Ditulis: Pontianak, 22 Juli 2023
Publish: 12 Agustus 2023

The Way I Hate You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang