"Bangun!" Suara seorang wanita membangunkan Cean dari tidurnya. Sebenarnya, dia tidak benar-benar tertidur, tetapi hanya sekadar memejamkan matanya yang pedas karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Sudah pukul dua siang, Cean merasa sangat lemas. Tidak ada satupun cairan yang masuk ke tubuhnya. Bunda mendekatinya lalu melepaskan tali yang mengikat tubuh anak itu. Cean tersenyum, berusaha bangkit dan menyandarkan tubuhnya.
"Makan!" titah Bunda sembari memberikan Cean sepiring nasi putih tanpa lauk. Cean kembali tersenyum berusaha untuk mengikhlaskan lalu menarik napasnya panjang.
"Cean enggak mau, Bunda," katanya berbohong. Perutnya sedari tadi sudah keroncongan, tapi rasa kecewanya pada Bunda jauh lebih besar.
"Masih mau menentang saya?" Wanita itu mencengkram pipi Cean hingga anak itu mendongak menghadapnya.
Cean menggelengkan kepalanya lalu menarik lembut tangan sang Bunda yang menyakiti pipinya. "Cean enggak lapar."
"Makan!" paksa Bunda sekali lagi.
Namun, Cean tetap menolak hingga Bunda melempar piring dan menatapnya dengan murka. "Kamu masih untung saya kasihani! Kalau tidak, saya sudah membiarkan kamu mati kelaparan!"
Cean meneguk ludahnya kasar, menatap mata sang Bunda dengan berkaca-kaca. Selalu begini, anak itu menjadi lemah jika berada di hadapan Bunda. Wanita yang sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai seorang Ibu.
"Bunda kenapa tega sama Cean?" lirihnya sembari meremas pinggiran kasur. "Bunda tahu sendiri kan, aku butuh Chyra di hidupku, tapi kenapa Bunda mengambil segalanya? Chyra enggak salah apa-apa, Bunda. Kalau Bunda benci sama Cean, seharusnya Bunda sakiti Cean saja, jangan dia."
Hilda mendengus, anaknya ini belum mengerti juga. Padahal dia sudah menunjukan sedari lama. "Kamu tidak pantas berada di sisinya. Seperti langit dan bumi, kalian tidak akan pernah bersatu."
Cean mengembuskan napas kasar, menjambak rambutnya frustrasi. "Kenapa, Bunda? Kenapa? Kasi tahu Cean alasannya ...."
Gigi wanita itu bergemeletuk menahan emosi. "Karena saya yang sudah membuat keluarganya menderita. Saya yang sudah membuat anak mereka menjadi bisu. Saya yang sudah membuat ibu dari gadis yang kamu cintai itu tiada."
Cowok itu bergeming, menatap Bunda tanpa kedip. Sama sekali tidak percaya dengan yang wanita itu ucapkan. "Bunda bohong, kan?" tanyanya meminta kepastian.
Hilda mendengus lalu menyeringai saat melihat ketakutan terlihat jelas di raut wajah anaknya. "Kamu tahu kenapa anak kecil itu ketakutan saat melihat saya? Itu semua karena saya yang menyiksanya."
Cean menggeleng, menolak untuk menerima faktanya. "Enggak, Bunda bohong. Cean enggak percaya!"
Sudut bibir wanita itu berkedut menahan senyum. Dia mengangkat dagu Cean dengan jari telunjuknya sembari tersenyum miring. "Itu faktanya anakku, Sayang."
Jadi apa alasannya? Mengapa Bunda begitu tidak menyukai keluarga gadisnya? "Kalau begitu kenapa dulu Bunda nyuruh Cean buat benci Chyra? Kenapa Bunda nyuruh Cean buat menghancurkannya? Kenapa, Bunda? Salah apa mereka sama Bunda."
"Cean udah percaya Bunda berubah dan melupakan semua dendam Bunda, tapi kenapa Bunda kembali seperti dulu lagi? Chyra, Om Nathan, Tante Jesika, mereka semua enggak salah, Bunda. Kenapa Bunda menghakimi mereka?"
"Karena saya membenci mereka!" teriak Bunda. Dadanya naik turun menahan emosi. "Saya masih mencintai Nathan, ayah dari gadis yang kamu cintai. Baik dulu hingga sampai detik ini, tapi apa ... apa yang dia lakukan? Dia malah menikahi wanita lain setelah saya menghancurkan wanita pujaan hatinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...