𝕹𝖆𝖒𝖊

6.4K 714 0
                                        

Ruang besar dengan berbagai perabotan mewah di dalamnya, rak buku, bola dunia, lukisan, sofa bahkan armor dan perlengkapan senjata.

Seorang pria bersurai putih nampak tengah fokusdengan sebuah buku tebal di atas mejanya. "hah~ lama sekali mencari, tapi tidak ada yang cocok" ucapnya seraya melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung mancungnya.

Ia bersandar di meja kerja kaisar itu, pandangannya menatap ke arah langit-langit ruangan seraya menghela nafasnya panjang. "kira-kira jika kau masih disini, yang mana yang akan kau pilih?" gumamnya.

Pandangannya beralih ke sebuah pedang yang terletak dalam kotak kaca di samping lemari buku. Di antaranya semua barang disini, hanya pedang itu yang bukan miliknya. Ya, itu adalah milik mendiang istri Galen, Lucy.

Tujuh belas tahun yang lalu.

[Galen's POV]

Dap dap dap

Aku berjalan menelurusi koridor istana di gelap malam, baru selesai menidurkan kedua puteraku yang maish kecil. Dan kini aku hendak menuju kamar tidurku, bertemu dengan dewiku.

Hingga akhirnya aku tiba di depan kamar kami. Namun sebelum aku membuka pintu, aku mendengar suara nyanyian merdu dari dalam kamar. Ah indah sekali, rasanya aku bisa tertidur sekarang juga jika mendengarnya terus.

Aku pun membuka knop pintu perlahan, tidak ingin menganggu nyanyian istriku. Aku berjalan tanpa menghasilkan suara, dan perlahan memeluk Lucy-ku yang tengah duduk di kursi menghadap ke luar jendela.

Surai pirang bagai helai benang keemasang itu menjuntai lurus dan berkilau kala bertemu cahaya rembulan. Kulitnya yang begitu bersih dan bercahaya, juga sepasang iris safir seterang langit cerah yang tak pernah gagal membuatku terpesona.

Ia menyanyikan lagu pengantar tidur seraya mengelus perut besarnya yang sudah memasukki bulan ketujuh. Anak ketiga kami.

Sret

Seketika nyanyiannya terhenti tatkala tangan besarku melingkar di pundaknya. Namun sekian detik kemudian ia tersenyum seraya mendongak."apa pangeran-pangeran kita sudah tidur?" tanyanya.

Aku tersenyum manis, "sudah, dan suara istriku masih indah seperti hari-hari dahulu" ucapku seraya mengecup pelan puncak kepalanya.

Lucy terkekeh, "fufufu jangan memuji saya begitu Yang Mulia Kaisar" ucapnya seraya kembali memandangi bulan purnama yang indah.

Aku mendengus seraya berlutut di samping kursi yang Lucy dudukki, "tapi kan itu fakta, benar kan nak?" tanyaku pada perut buncit Lucy.

Lucy pun tergelak, "hahaha dia sudah tidur" ucap Lucy.

"hm? Benarkah? Kalau begitu waktunya ibumu untuk tidur juga" ucapku kemudian perlahan mengangkat tubuh Lucy ala bridal style menuju ranjang kami.

Aku membaringkannya dengan begitu hati-hati, memberi bantal tambahan di bagian kepala dan di sisinya, menarik selimut hingga menutupi dada Lucy. 

Setelah selesai, aku pun mengambil posisi tidur di sebelah istriku. Aku berbaring menghadap Lucy dengan tangan yang aku gunakan sebagai tumpuan kepala, menatap keindahan wajah wanita nomor satu di seluruh Eleino dan tentu saja di hatiku.

"mata anda nanti bisa terbakar Yang Mulia" ucap Lucy.

"biarlah, apapun akan aku korbankan untukmu permaisuriku" ucapku spontan.

"ppfftttt"

"hei kenapa kau tertawa?" tanyaku.

"hahaha maaf, hanya saja rasanya masih geli jika berbicara terlalu formal denganmu" ucap Lucy seraya menghapus air matanya. "Apalagi dengan ucapan manis seperti itu, mana Grand Duke yang dingin itu ya?" lanjutnya.

I'm More Than Just A PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang