#43

1.4K 112 1
                                    

Helaian rambut yang lari dari posisi karena hembusan angin, lekas dibenarkan oleh Lanara. Ia benar-benar menikmati moment itu. Udara yang terasa begitu nyaman dan ia tidak merasa sendirian sekarang. Ia merasa kini semuanya perlahan mulai berjalan baik, setidaknya sedikit demi sedikit. Lanara menyilangkan tangannya di dada, ia memeluk dirinya sendiri.

Gemya yang ada di sampingnya, menatap Lanara lekat. Seolah masih ada yang mengganjal di hatinya. Walau ia sudah jujur pada Lanara, tetap saja rasa bersalah itu masih tetap ada.

Gemya tertunduk sejenak, "Maafin gue ya Lan."

Lanara menoleh.

"Buat apa?" tanyanya.

Gemya kembali tegap, kemudian menatap Lanara merasa bersalah.

"Dari dulu sampai sekarang, gue selalu buat lo celaka. Padahal gue udah ngambil keuntungan dari lo," sesal Gemya, ia benar-benar merasa bersalah.

Lanara tersenyum merasa lucu.

"Syukurlah," ucapnya membuat Gemya bingung. Apa yang perlu disyukuri dari pernyataannya tadi. Atau, apakah dia sudah dimaafkan.

"Ha?"

Lanara terkekeh kecil.

"Lo tau, kata maaf tanpa rasa bersalah itu cuma omong kosong. Jadi, gue bersyukur. Karena gue nggak perlu denger omong kosong dari lo."

Lanara memberi jeda sejenak, membiarkan Gemya meresapi kata-katanya.

"Lagi pula, gue udah maafin lo dari lama kok. Tapi itu untuk apa yang lo lakuin ke gue, nggak untuk orang-orang yang udah lo bully. Karena seharusnya lo yang paling tau gimana rasanya Gem, karena lo pernah di posisi itu," lanjut Lanara menyiratkan kekecewaannya.

Gemya tak mengelak, ia juga merasakan hal yang sama. Ia juga begitu kecewa atas perbuatannya selama ini. Namun waktu itu, situasinya membawanya pada jalan yang salah.

"Iya, gue akui gue salah Lan. Bahkan sekarang gue juga udah mulai nggak ikut-ikut geng Keyri lagi. Setelah ini juga gue bakal minta maaf ke orang-orang yang pernah gue bully."

Lanara mengangguk setuju.

"Baguslah—oh ya. Apa kabar, Gemya?" tanya Lanara yang kini perlahan terasa lebih hangat dari sebelumnya.

Gemya perlahan tersenyum, merasa sedih sekaligus senang secara bersamaan. Lanara ikut tersenyum. Mereka tersenyum bersama, perlahan mulai menghancurkan tembok yang setelah sekian lama memisahkan keduanya. Seolah keindahan tempat itu juga ikut membantu, mereka saling tatap. Sebuah tatapan yang dipenuhi dengan kerinduan. Sudah sangat lama, untuk mereka dapat melihat senyuman satu sama lain yang seindah itu.

—○●○—

Lanara mendapat giliran pertama, dan dengan antusias Regan menjelaskan cara bermainnya pada Lanara. Yang mana seharusnya dijelaskan oleh petugas di sana.

"Gue yakin, lo akan lebih suka permainan ini. Dibandingkan permainan dipikiran lo itu," ujar Regan lalu memberi kode pada petugas untuk menyiapkan peralatan di tubuh Lanara.

Lanara terdiam sesaat, Regan mengingat semuanya.

"Karena sebelum hari itu ... gue bahkan nggak inget udah berapa kali gue bunuh diri dalam pikiran gue sendiri."

Lanara menoleh ke arah yang lain, sekali lagi Regan berhasil menyentuhnya. Perasaannya kembali kalut, karena sekeras apapun Lanara mencoba. Rasa sakitnya jauh lebih besar dari apapun yang ia miliki sekarang.

Disisi lain tampak ada Zeylan yang begitu cemas. Ia terus menanyakan pada petugas mengenai keamanan alat yang akan dipasang. Dan beberapa kali perdebatan dengan Regan tak terhindarkan.

Milikku Zeylan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang