#45

1.2K 123 12
                                    

Regan segera berjalan pergi, ia merasa cukup dengan bukti ditangannya. Ia segera turun dari atap. Namun di lantai dasar, sudah ada Bagas yang menunggunya. Lelaki itu menatap Regan tak suka, dan yang baru saja Regan sadari jika mereka jarang bertemu akhir-akhir ini, karena Regan cukup sibuk dengan Lanara.

Namun karena situasi kali ini cukup mendesak, Regan lebih memilih untuk menghiraukan Bagas. Tapi Bagas yang sudah sangat kesal langsung menghadang Regan.

"Sepenting itu dia buat lo?"

Regan menghela nafas, menahan emosinya.

"Minggir. Gue nggak punya waktu buat ini," titah Regan dengan suara dingin. Namun Bagas malah terkekeh merasa lucu.

"Cih, jadi sekarang lo mau ikut-ikut Zeylan." Bagas menaikkan sebelah alisnya.

"Inget. Gue nggak main-main sama ancaman gue waktu itu, karena gue juga tau kelemahan Lanara sekarang." Bagas tersenyum smirk, ia merasa mendominasi.

Regan yang merasa jengkel, seketika mendorong Bagas ke diding. Menahannya di sana dengan cengkraman erat pada leher Bagas.

"Lo juga pasti tau, apa yang bisa gue lakuin kalau sampai terjadi sesuatu." Kini Regan yang balik tersenyum smirk, membuat situasinya di dominasi olehnya.

Lantas Regan segera pergi, setelah merasa cukup memberi peringatan pada Bagas. Karena ia harus segera mengurus permasalahan Lanara yang sangat mendesak.

Namun hal itu kian membuat Bagas merasa kesal, amarahnya penuh. Ia merasa sudah kehilangan Regan, bahkan sekali lagi Regan mengabaikannya karena Lanara. Lelaki itu menatap murka ke arah Regan yang berjalan pergi. Tatapannya penuh maksud.

—○●○—

Lanara berlari sekuat tenaga, ia mencoba melawan semua tekanan yang ia miliki. Nafasnya memburu, kian sesak. Namun ia tetap berlari, kian menyiksa diri. Karena dalam kepalanya, bayang-bayang tentang masa lalunya terus bermunculan. Teriakan, tangisan bahkan umpatan yang sangat ingin ia hentikan.

Ia mencoba mengalihkan sakitnya. Namun hatinya tetap terasa perih, bahkan sangat perih. Jantungnya serasa ditikam tanpa ampun, ia ingin meledak.

Air mata yang mungkin selama ini masih tertahan, kini berjatuhan begitu saja. Seolah bendungan yang selama ini dibangun telah roboh. Lanara begitu terisak, kakinya yang bahkan begitu lemas membuatnya terus jatuh berulang kali. Namun ia kembali berdiri dan berlari lagi. Memcoba lari dari kenyataan, yang begitu pahit untuk di terima.

Selama ini Lanara tak pernah melihat kilasan tentang ayahnya. Ia merasa bodoh, karena tak merasa aneh tentang itu. Dan hal yang paling menyesakkan baginya adalah, pernyataan bahwa orang yang paling ia percaya adalah alasan penderitaannya selama ini.

Tangisan Lanara kian pecah, ia kembali mengingat moment kebersamaannya dengan Sarah.

.
.
.

Lanara akhirnya bisa pulang, setelah hampir sebulan di rumah sakit. Sarah menggandeng tangan Lanara, menuntun gadis kecil itu melewati lorong. Kondisi mental Lanara masih belum pulih dan tidak ada yang tau kapan itu akan sembuh.

"Nara hari mau makan apa, nanti biar mama masakin." Sarah tersenyum begitu hangat, menatap Lanara yang kini sudah menjadi putri kecilnya itu.

Namun Lanara tak merespon dan hanya menatap kosong ke depan. Sarah yang melihat itu, menggigit bibir bawahnya merasa sedih.
__________

Milikku Zeylan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang