Zuan dengan caranya sendiri menenangkan Sarah, ia melakukan sesuatu yang seharusnya di lakukan oleh seorang kepala keluarga. Menjadi satu-satunya orang yang paling terlihat baik-baik saja, agar anggota keluarga yang lain dapat bersandar padanya.
Sarah masih terisak dalam pelukan Zuan. Mengadu jika ia tak ingin kehilangan Lanara. Betapa ia sangat menyayangi putrinya itu.
"Sekarang Lanara udah tau semuanya mas ... pasti dia benci sama aku sekarang. Aku harus gimana, aku nggak mau kehilangan Lanara Mas. Aku nggak bisa, nggak bisa mas." Sarah menggelengkan kepalanya, menandakan ketidak mampuannya.
Zuan melepas pelukannya, menatap teduh ke arah Sarah yang sudah tampak kacau.
Zuan tersenyum hangat.
"Semua bakal baik-baik aja, mas janji. Sekarang kamu tenangin diri dulu, oke." Zuan kembali memeluk Sarah, tangisan wanita yang sudah menginjak usia pertengahan 30 itu kembali pecah.
"Aku takut mas ... Aku takut." Sarah meremas kuat baju yang Zuan kenakan. Perasaannya begitu kalut.
"Jangan takut. Kita hadapi ini sama-sama. Kamu nggak sendirian, ada Mas di sini."
Cukup lama hingga suara tangisan tak terdengar lagi. Saat dimana Sarah sudah benar-benar tenang. Zuan menuntun istrinya itu, keluar dari sana. Memintanya menunggu di sebuah kursi yang ada di koridor, selagi ia mengambil tas Sarah di ruang guru. Kemudian mempermisikan istrinya pada guru piket yang tadi ikut membantu.
"Sekali lagi, makasih ya buk. Saya pamit dulu. Permisi," pamit Zuan kemudian kembali menyusul Sarah.
Mereka pergi.
—○●○—
Rasca kini duduk sendirian di ruang tunggu, menatap sedih ke arah ruang UGD yang masih tertutup. Tangannya berkelit, ia gelisah.
Namun seketika fokusnya pecah, ketika dering handphonenya menyeruak memenuhi lorong. Dengan cepat, ia meraih handphonenya dari saku roknya.
'Dyon?'
Rasca segera mengangkat panggilan itu.
"Halo?"
"Ras, lo dimana ?" tanya Dyon, tapi malah membuat tangisan Rasca yang sudah reda kini kembali jatuh lagi.
"Dyyyooon... "
"Lo kenapa ?" tanya Dyon khawatir.
"Lanara mana ?" tanya Dyon lagi, yang langsung disambut dengan tangisan deras oleh Rasca.
Gadis itu kian terisak,"La-Lanara ..."
"Dia ... dia hampir mati Dyyoon. Gue takut, gara-gara gue Lanara jadi kayak gini," sesal Rasca, tapi tiada guna.
"Ha? Trus sekarang kalian ada dimana ?"
"Ki-kita di rumah sakit."
"Oke, gue ke sana sekarang. Lo tenang dulu, oke." Dyon langsung mengakhiri panggilan itu. Meninggalkan Rasca sendirian dengan rasa bersalahnya.
Gadis itu kembali menatap gelisah ke arah ruang UGD, berharap kabar baik akan segera terdengar.
"Ras, dokternya udah keluar ?" tanya Zeylan yang sudah kembali ke ruang tunggu. Rasca menggeleng sedih, sembari menghapus sisa-sia air matanya.
Zeylan menghela nafas, kemudian ikut duduk di sana.
Rasca yang tak mendapati keberadaan Reganpun bertanya, "Regan mana ?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Milikku Zeylan
RomanceDia terlalu fokus menyembuhkanmu, sampai lupa kalau dirinya juga sakit -Lanara Jika trauma adalah penderitaan paling nyata bagi korban. Maka rasa bersalah dan penyesalan adalah hukuman paling nyata bagi pelaku. "See u ninja," pamitnya.