#56

1.1K 94 14
                                    

Di lorong, di depan ruangan Lanara. Semua orang tampak menunggu. Tak terkecuali Zeylan, yang sedari tadi hanya diam memandang tajam ke arah pintu ruangan Lanara.

"Kak, yang tadi itu siapa sih? Pacarnya kak Lanara ya?" tanya Ryn mengalihkan fokus Zeylan.

Zeylan menoleh. Kemudian menggeleng pelan.

"Bukan, bukan siapa-siapa."

Ryn mengerutkan keningnya, ia heran.

"Kalau gitu, kenapa dia sering ke sini? waktu di gedung hari itu juga dia ada," ungkap Ryn atas kebingungannya.

Zeylan tersenyum tipis setelah mendengar perkataan adiknya itu, kemudian meraih pucuk kepala Ryn lembut.

"Kitakan nggak harus punya hubungan dulu buat peduli sama orang lain."

Lelaki itu mulai berjongkok, menatap dalam ke arah Ryn yang menunggu kelanjutan dari ucapanya.

"Makanya, kita bisa bilang manusia itu ada yang baik dan ada yang jahat—Karena orang yang jahat, nggak akan peduli sama orang selain dirinya sendiri." Ryn tampak paham, kemudian melirik sejenak ke arah ruangan Lanara.

"Jadi dia orang baik?" tanya Ryn lagi.

Zeylan diam. Kemudian perlahan ia mulai menggukkan kepalanya.

"Tapi, kenapa kakak kayak nggak suka sama dia?" tanya Ryn, yang sebelumnya mendapati ekspresi yang Zeylan tujukan kepada Regan.

Zeylan tersenyum, bibirnya tampak enggan menjawab.

—○●○—

Di kesunyian yang memenuhi lorong rumah sakit itu, pintu ruangan Lanara tiba-tiba terbuka. Menarik semua perhatian orang-orang yang memang menunggunya.

Regan keluar.

"Lanara udah bangun, dan dia mau makan," ucap Regan yang disambut dengan senang oleh Zuan dan Sarah. Bahkan sangking senangnya, kaki Sarah sampai terkulai lemas. Ia hampir jatuh, dan untungnya Zuan dengan sigap membopong tubuh Sarah untuk segera duduk di kursi yang ada di sana.

"Kamu istirahat aja dulu, kalau dipaksa terus yang ada kamu yang tumbang nanti," saran dokter Veni, karena cemas akan kondisi Sarah.

"Saya masih kuat kok, dok."

"Sayang, dengerin kata dokter. Mending kamu istirahat dulu, ya. Biar diantar pulang sama Zeylan."

Sarah menggeleng.

"Aku masih mau di sini mas. Nanti kalau memang aku udah bener-bener nggak sanggup, aku bakal bilang kok."

Zuan menghela nafas, karena mau tak mau, ia harus mengalah.

"Yaudah."

"Oh ya, sebentar ya biar saya bilangkan ke perawat untuk siapkan makanannya," ucap dokter Veni yang kemudian pergi.

"Eh, dok," panggil Regan.

Dokter Veni terhenti, berbalik, menoleh ke arah Regan.

"Punya saya juga ya, saya juga laper soalnya." Lelaki itu kemudian tersenyum tak berdosa. Membuat semua orang yang medengarnya merasa kikuk.

"Kamu laper, sebentar ya biar om beliin makan."

Regan menggeleng.

Milikku Zeylan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang