#47

1.2K 107 5
                                    

Suasana kian menegang, perseteruan antara Zuan dan Zeylan tak bisa terhindarkan. Zuan tau kekecewaan putranya, tapi ia juga tau bagaimana kondisi Sarah yang sebenarnya.

"Tapi dia yang nyebabin semuanya!" bantah Zeylan dengan suara yang mulai meninggi.

"Dia selihkuh sama ayah Lanara pa. Sumber masalah dari penderitaan Lanara selama ini," ujar Zeylan yang begitu sakit hati.

Zuan menatap putranya itu, perasaannya campur aduk.

"Kamu cuma tau satu fakta Zeylan. Kamu nggak bisa buat kesimpulan gitu aja," ucap Zuan yang seoalah berpihak pada Sarah, yang seketika membuat Zeylan begitu merasa kecewa.

"Paa! Di depan mata Zeylan, Lanara udah hampir mati karena 1 fakta itu pa. Tapi kenapa papa terus aja bela dia!" Suara Zeylan gemetar. Emosinya mencuat, matanya berkaca-kaca menatap marah ke arah ayahnya. Mereka hampir kehilangan Lanara, bendera kuning hampir saja terkibar di depan rumah mereka. Tapi yang ayahnya pikirkan hanyalah Sarah.

"Zey ..." Regan meraih lengan Zeylan, berharap lelaki itu dapat mengendalikan emosinya.

Namun dengan berat, Zuan mengeluarkan senyum sedihnya.

"Karena papa juga tau betapa menyedihkannya posisi mama kamu Zeylan. Kamu hanya ngeliat dari sudut pandang Lanara, tapi ... apa kamu pernah ngeliat dari sudut pandang mama kamu ?" tanya Zuan dengan suara yang teramat berat. Ia tak berpikir akan menanyakan hal itu pada Zeylan.

"Gimana dia harus ngelepas masa mudanya karena harus ngerawat Lanara yang trauma berat ? Ngebesarin anak dari orang yang bahkan udah nyakitin dia. Pernah Zeylan ? Ha ? Coba jawab papa, pernah kamu mikir gimana posisi mama kamu ?"

Zeylan terdiam, begitu juga yang lainnya. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan Zuan.

Disisi lain, Sarah segera pergi dari ruang guru. Ia memilih bersembunyi di dalam toilet, mengunci diri sendirian dalam sepi. Lalu Memecahkan keheningan dengan suara isak tangisnya yang tak tertahankan. Meringkuk, terduduk dilantai.

Tangisannya pecah sejadinya-jadinya, ia melepaskan semua perasaan yang selama ini sudah ia tahan. Hatinya begitu terasa perih, teramat banyak rasa sakit yang menyelimutinya.

Bayangan masa lalu yang terus menyiksa. Rasa bersalah yang begitu teramat besar, lagi dan lagi menikamnya berjuta kali. Begitu menyakitkan, tapi baginya itu pantas ia dapatkan.

Bahkan ia begitu mencintai Lanara sekarang, karena baginya hanya Lanara hal berharga yang ia punya. Lanara adalah cerminan baginya. Putri kecil yang selalu membuatnya untuk tetap kuat. Tapi dengan begitu menyakitkan, ia harus menjadi salah satu alasan penderitaan putrinya itu.

Ia terus menyiksa dirinya dengan rasa bersalah, setiap hari, jam, menit bahkan detik. Bahkan keberadaan Lanara sesungguhnya sangat menyiksa, karena Sarah akan terus teringat akan kesalahannya di masa lalu. Rasa sayang, cinta dan kebodohan yang mengakibatkan rasa bersalah yang teramat sangat.

.
.
.

Wira adalah seorang manager di suatu perusahan logistik. Kondisi istrinya Lina yang sedang hamil tua, membuat ia harus mengambil alih tugas Lina dalam hal mengantar jemput putri mereka yaitu Lanara.

Lanara yang bersekolah di TK harapan, membuat Wira harus berangkat lebih cepat karena arah kantor dan TK yang berlawanan.

"Oke, kita sampaaai."

Lanara terlihat senang dan begitu antusias, kemudian mencoba membuka seatbeltnya tapi kesulitan.

Wira tersenyum teduh, "Sini ayah bukain."

Lanara memanyunkan bibirnya, bermanja pada ayahnya itu.

"Okeh, sekarang saatnya anak ayah berperang melawan kebodohan!" titah Wira seolah sedang berbicara pada seorang prajurit.

Milikku Zeylan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang