9. Nandita dan Pengunduran Diri

110 80 0
                                    

Halo! Ketemu lagi nih, ehe.

Absen dulu

Apa yang bikin kamu mau nungguin dan baca cerita ini?

Jangan lupa follow instagram @ceritanora dan follow juga wattpad aku ya.

Jangan lupa bahagia dan jaga kesehatan.

Happy reading.

Nandita

Nandita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Amarah Nandita meradang. Selembar surat pernyataan ia banting kasar tepat di bangku tak tahu apa-apa. Seseorang yang tengah bergurau ria dengan teman sebangkunya sukses dibuat terperanjat. Ia berbalik, memandang Nandita dan kertasnya bergantian.

"Bodoh Yaka, bodoh!"

"Kamu bodoh, Yaka!"

"Kamu bodoh!"

Teriakan nyaring gadis itu mengundang perhatian seisi kelas. Yaka masih belum mengerti, ia menggandeng tangan Nandita dan mengajaknya keluar. Tak lupa kertas tadi ia bawa. Jari telunjuk ia letakkan di bibir guna mengisyaratkan Nandita agar diam.

Langkah Yaka berhenti di lorong koridor yang sepi. Genggaman tangannya pada Nandita melemas. Isakan kecil terdengar membuat Yaka semakin tidak mengerti.

"Nan?" tanyanya lembut tapi Nandita tidak merespons.

Yaka mengalihkan pandangan pada benda yang sejak tadi ia genggam. Selembar kertas kusut ia buka, ia baca, ia pahami isinya. Tanda tanya besar kembali timbul. Seharusnya Nandita senang karena jalan mimpinya terbuka. Namun keadaan sekarang justru sebaliknya.

"Nan, kamu seharusnya—"

"Apa itu baik dan pantas dirayakan? Hah?"

"Nan, kamu punya—"

"Kesempatan, iya? Aku punya kesempatan tapi dengan mengorbankan kesempatan orang lain yang jauh lebih berhak? Begitu yang kamu maksud kesempatan?"

"Nan—"

"Jadi ini jalan pikir yang dibilang anak Einstein?"

"Nan, kamu berhak. Lalu untuk apa kamu menolak?"

"Kamu yang terlalu memaksakan keadaan."

Yaka menghela napas, mengusap wajahnya gusar. "Nan, tenang. Aku nggak memaksakan, tapi Ayah yang memilihmu. Aku berani menjamin itu."

"Omong kosong! Awalnya yang terpilih Rania, kan? Kamu yang menggoyahkan pilihan itu dengan menyuruh mengadakan tes dadakan. Akhirnya juga skor tertinggi diraih Rania, tapi kamu memaksa Ayahmu untuk memilihku. Begitu, kan?"

"Akhirnya itu kamu, Nan. Memang itu kenyataannya."

"Ka, hidupku nggak semenyedihkan ini. Mimpiku memang bisa masuk universitas negeri, tapi tidak dengan cara buruk. Masih ada jalur tes kalau aku nggak bisa masuk jalur prestasi. Lihat Ka, lihat. Lihat anak-anak kelas memandangku seperti apa?" Walau nada suaranya melemah, tapi Yaka tahu bahwa hati Nandita kembali membiru.

You're Not Alone (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang