Halo balik lagi!
Maaf ya lama nggak update karena sibuk banget:(
Boleh tekan bintangnya dulu, jangan lupa follow instagram @ceritanora dan follow wp juga, ya.
Selamat membaca
Dari Nandita
Nyawanya sungguh dipertaruhkan usai menerima telepon dari Mama. Nandita menyeberang jalan raya sembarangan dan mengabaikan klakson-klakson kendaraan yang memperingatinya. Ia harus segera pulang, ia enggan lagi menoleh ke belakang karena hal yang terjadi menit-menit yang lalu hanya buang-buang waktu dan menunda kepulangannya.
Kabar itu yang membuatnya tidak lagi memikirkan apa-apa kecuali satu, yang di sana. Tanggul air mata sudah jebol dan bercucuran sepanjang jalan ia menyegat bus dan melaju.
"Tolong lebih cepat ...." Bus bukan taksi atau kendaraan pribadi yang bisa membawanya ke tempat tujuan lebih cepat, tapi bus hanya sebatas kendaraan pribadi yang berjalan-berhenti disetiap halte untuk mengangkut dan menurunkan penumpang. Namun, ia meminta sang supir memacu kecepatan penuh walau ia tahu jalanan sedang macet pula karena perbaikan jalan.
"Turunkan saya di halte depan."
Suasana hatinya sudah tidak keruan ketika mulai menginjak ubin rumah sakit yang putih. Mungkin tulangnya tertinggal di kedai sehingga jalan menuju ruang inap terasa panjang sekali. Di ambang pintu, ia terpaku melihat sang ayah yang sudah terlepas dari alat-alat penopang hidupnya. Ia sehancur-hancurnya ketika Papa sudah berpulang. Kalimat pendek yang dibilang Mama tadi, ia kehilangan sebagian dunianya.
Cintanya telah pergi tanpa berpamitan. Saat pagi menggeser malam, Papa masih menyapa di teras rumah dengan senyum merekahnya. Tidak apa-apa saat itu. Lalu pagi kemudian hari telah bangun, tapi Papa sudah tidak bangun lagi. Tidak pula menyangka bahwa senyuman pagi itu adalah perpisahan.
Cintanya telah mati.
"PAPA BANGUN, PA ...."
"PAPA BANGUN ...."
"PAPA ... PAPA JANGAN TINGGALIN NANDITA!"
"Nandita sudah pulang, Pa. Tolong bernapas, tolong hidup sekali lagi yang panjang untukku."
Retak hatinya tidak berbentuk lagi. Kabar dilayangkan memberi tahu bahwa ayahnya meninggal, dunianya menangis saat itu. Bahkan ia membenci diri sendiri sebab tidak ada di samping Papa disaat-saat terakhirnya. Pulang pada sebuah keterlambatan dan Papa sudah tidak bisa diajak mengobrol. Gadis itu tersedu-sedu memeluk sang ayah untuk terakhir kalinya. Sosok laki-laki tangguh yang tidak pernah membiarkannya terluka, pembela paling baik kini sudah tidak ada lagi.
Papa menyerah pada penyakit yang menyerang organ tubuhnya. Bertahan bertahun-tahun dari kanker paru-paru yang diderita, pengobatan panjang itu tidak menyembuhkan, melainkan sebatas memperpanjang hidup. Banyak hari Papa habiskan untuk menderita sakit, siang dan malam yang tidak berjeda. Kini, takdir memberikan keputusan terbaik untuk Papa. Namun, anak gadisnya masih menganggap sebuah mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Not Alone (END)
Teen FictionA Blue Story by Nora "Jika kita saling menggenggam, maka aku tidak menemukan alasan takut sendiri." Entah mana yang lebih menyakitkan, sendiri atau dicintai. Katanya cinta akan menghidupkan yang semula telah lama hilang. Tapi cinta itu mematikan, k...