6. Prioritas

9.4K 518 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




SEMENJAK pertengkaran mereka di rumah Keenan tempo lalu, sikap Kalaia berubah begitu drastis. Fabian menyadarinya bahkan sejak istrinya berlari keluar dari mobilnya setelah insiden jemput paksa itu. Kalaia masih tetap Kalaia yang sama, perempuan ambisius dan keras kepala yang pernah ia kenal.

Namun kali ini situasinya berbeda, perempuan cantik itu berusaha seolah mempertegas jarak diantara mereka—membangun tembok kokoh dengan bersikap dingin pada Fabian. Entah karena apa Fabian juga tidak begitu paham.

"Papa berangkat." Fabian mengusak lembut surai hitam putranya. Kemudian beralih untuk menatap istrinya. "Saya berangkat." Pamitnya.

Kalaia menyerahkan tas Fabian, dengan wajah datar kemudian mengangguk. Dua minggu sudah, kebiasaan Fabian mengecup pipi Kalaia setiap hendak pergi tidak lagi ia lakukan. Mereka benar-benar terlihat seperti orang asing—meski pada kenyataannya memang seperti itu. Tapi, rasanya tidak seasing sekarang.

Kalaia hanya mau berinteraksi lebih bersama Narion, tanpa mau melibatkannya sedikitpun. Semua hal yang dirasa perlu dilakukan berdua—sebagai orang tua, Kalaia memilih melakukannya sendiri. Seolah mengambil alih peran Fabian.

Fabian menampilkan wajah datar, menatap sebentar wajah Kalaia sebelum benar-benar berlalu menuju motornya.

Kalaia menghela nafas pendak, menatap punggung suaminya yang perlahan menjauh dari jangkaun matanya. Masih dengan menggenggam tangan Narion, ia berucap dengan pelan. "Seharusnya memang seperti ini, Mas."

"Bubu, ayo masuk. Disini dingin." Narion menggoyangkan pelan jemari Kalaia. Perempuan itu menunduk dengan senyum lembut.

Sudah dua hari belakangan cuaca berubah tidak tentu, perubahan suhu lingkungan sangat berpengaruh pada kondisi tubuh Kalaia. Tangannya mulai gemetar dan tubuhnya menggigil—Kalaia memeluk tubuhnya dengan satu tangan, sementara satunya lagi digunakan untuk menggandeng Narion.

Sampai di dalam rumah Kalaia di hampiri oleh mbok Darmi dan beberapa pelayan lain yang membawa beberapa Papar Bag.

"Ada apa, mbok?" Tanya Kalaia. Mbok Darmi tersenyum, ia lantas menyerahkan kotak kecil transpara berisikan obat-obatan. "Saya mau ngasih titipan Tuan Fabian, Non." Ucapnya.

"Buat saya?"

"Iya non, masa buat pak Bejo sih." Wanita paruh baya itu sedikit bercanda.

Kalaia terkekeh lalu menerimanya, "Terima kasih ya, mbok." Kemudian ia menerima lagi beberapa Papar bag berisikan baju-baju hangat seperti; mantel dan hoody dengan ukuran besar. "Ini juga dari Mas Bian, mbok?" Tanyanya memastikan.

"Benar, non. Tuan berpesan supaya non Kala memakainya jika hendak keluar rumah." Kata mbok Darmi.

"Tapi kenapa banyak sekali?" Kalaia bergumam pelan.

Mbok Darmi dan beberapa pelayan tersebut nampak mengulum senyum. Dan mbok Darmi kembali menimpali, "Kalau kata pak Galang, Tuan lagi mabuk, non." Candanya.

DETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang