~SELAMAT MEMBACA~
.
.
.
.
.
."SAKIT?" Fabian merundukkan kepalanya untuk menatap wajah kemerahan istrinya—serta mengusap pelan-pelan peluh yang membanjiri kening perempuannya.
Dengan suara tersendat Kalaia menjawab sedikit ketus. "P—Pake nanya lagi! Ya sakit lah Mas!"
Fabian meringis pelan saat salah satu bahunya dicakar kuat-kuat oleh Kalaia, meski begitu dia tetap melanjutkan gerakannya. Peluh membasahi keningnya, ditambah rintihan Kalaia yang kian membuat perasaannya bergejolak.
"Sakit ... mas," Kalaia menangis tersedu-sedu. "Jangan ditekan itunya, ngilu banget."
Fabian membuang nafas berat, menatap datar pada istrinya yang sejak tadi menganggu kegiatannya. Fabian hampir berhasil, harusnya ini bisa selesai sejak tadi jika saja Kalaia tidak rewel begini.
"Saya sudah gerak pelan sejak tadi Kalaia," Gumam Fabian kesulitan.
"Pelan lagi dong mas!" Kalaia ngeyel.
Oke, Fabian menyerah. Gak kuat sama kolotnya Kalaia kalau sedang begini.
Akhirnya, "Saya panggil tukang urut saja kalau begitu."
Fabian beranjak dari sofa, meninggalkan istrinya yang masih menangis sebab kakinya yang terkilir. Salahkan sifat ceroboh Kalaia yang tidak bisa hilang, Fabian sampai tidak habis pikir. Bisa-bisanya perempuan itu terpeleset saat menggundaki anak tangga, tubuhnya sampai jatuh berguling.
Dan ya ... dia merengek kesakitan dari siang sampai sekarang. Fabian juga yang repot karena serba salah menghadapi tingkah istri bandelnya tersebut.
"Takut ... mas." Kalaia menggemam bibirnya menahan tangis, seumur hidup dia tidak pernah dipijit oleh tukang urut. Dia seorang dokter, dan ya ... terkadang beberapa hal yang menyangkut kesehatan tidak bisa disepelekan. Urat terkilir salah satunya, salah urut pasti berefek fatal. "Pijitin aja ya pelan-pelan, kalau nanti udah agak mendingan besok panggilin tukang urut. Ya mas?"
Fabian menatap Kalaia lamat-lamat namun serius, berkacak pinggang seraya menimang sesuatu. "Yasudah ..." pada akhirnya laki-laki itu mendekat lagi ke sofa. Namun untuk menggendong Kalaia dan diletakkan di atas ranjang. "Sudah nyaman?" Dia memastikan.
Kalaia mengangguk dengan tatapan sayup, saat posisinya sudah benar-benar nyaman dengan satu kaki yang berada di atas guling. Dia tersenyum pada Fabian, mengulurkan tangannya—meminta suaminya mendekat. Laki-laki itu menurut dengan wajah penasaran, detik selanjutnya dia menyeringai tipis saat Kalaia mengecupi seluruh wajahnya dan berakhir di bibir agak lama.
Fabian terkekeh dengan suara berat. "Ini tanda terima kasih?"
"Bukan, itu baru bonusnya. Tanda terima kasihnya nyusul kalau kakiku sudah sembuh." Kalaia berucap dengan senyum centil, seperti biasa. Ciri khas istri Fabian.
KAMU SEDANG MEMBACA
DETAK
Teen FictionPramoedya Series ke-2 Cerita ini punya rate 17+ [harsh world, sensitive topic, skin-ship, kissing, smoking, suicide, etc. Jadi harap bijak dalam memilih bacaan. *** Di umur yang telah menginjak seperempat abad ini, banyak hal yang harus Kalaia tunta...