58. My Favorite Home's

5.2K 322 14
                                    

~SELAMAT MEMBACA~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~SELAMAT MEMBACA~
.
.
.
.
.

FABIAN menepati janjinya, membawa Kalaia ke pantai untuk melihat matahari terbenam. Permintaan sederhana itu membuat senyum diwajah istrinya tidak pernah pudar sejak mereka sampai. Dengan tangan yang saling bertaut erat, berjalan beriringan menyisiri pesisir pantai meski bertelanjang kaki.

“Ini kencan kedua kita, di pantai lagi. Tapi ada yang bikin beda.” Ujar Kalaia, setelahnya terkekeh.

“Apa?” Fabian menyahut.

Kalaia menoleh pada sang suami, “Kali ini perasaan Mas Bian untuk aku sudah jelas, senyum itu juga sudah lepas, nggak ditahan lagi.” Dia menjawab.

Fabian tidak akan menyangkal, dia hari ini memang banyak tersenyum. Senyum yang begitu lepas, tanpa beban, dan terasa melegakan.

“Semua berkat kamu, Kalaia.” Fabian membisik lirih.

Debur ombak dan desuh angin yang cukup kuat membuat Kalaia mungkin tidak mendengar kalimat yang baru saja Fabian ucapkan. Fabian kian mengeratkan genggamannya, kini membawa Kalaia untuk sedikit menepi karena mereka sudah berjalan cukup jauh. Fabian melihat arlojinya, masih pukul 5 sore, masih ada banyak waktu untuk mereka untuk mengobrol sembari menanti sang surya tenggelam.

Mereka duduk pada kursi kayu, yang memang disediakan untuk pengunjung.

“Mas, tolong,” Kalaia menyerahkan ikat rambut pada Fabian.

Fabian menerimanya, meminta istrinya memutar badan. Dia mulai mengurai rambut istrinya, menyisirnya sedikit demi sedikit lalu membaginya menjadi tiga bagian—membuat simpul demi simpul—mengepang rambut Kalaia.

“Sudah.” Seru Fabian.

Kalaia kembali ke posisi awal, “Terima kasih, kamu mirip papah, suka kepang rambutku.”

Fabian terkekeh, mengusapkan jemarinya ke pipi Kalaia lantaran gemas. Wajah Kalaia memerah, dia merona. Hal-hal kecil yang Fabian lakukan selalu berhasil membuatnya berdebar, meski bukan pertama kalinya namun dia tetap merasa gugup ditatap seintens itu oleh sang suami.

Lagi, Fabian terkekeh melihat istrinya merona.

“Pipinya merah.” Fabian sengaja menggoda sang istri.

“Masa sih? Enggak ah!” Kalaia berkilah, sudah pasti pipinya merona. Tapi dia malu jika harus mengakuinya pada Fabian, dia lantas menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Kali ini Fabian tertawa, tawa yang untuk pertama kalinya selama dia bersama Kalaia. Ini membuat Kalaia terpukau, dan spontan menatap sang suami lekat-lekat. “Mas, kamu ketawa? Serius?!” Tanya Kalaia.

Dengan sisa tawanya Fabian meraih pinggang istrinya, membawanya lebih dekat untuk memeluknya erat-erat. Menciumi puncak kepala istrinya, menikmati setiap detik rasa bahagia yang Kalaia ciptakan untuk hidupnya.

DETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang