~SELAMAT MEMBACA~
.
.
.
.
.WAKTU menunjukkan pukul 01.00 dini hari waktu indonesia bagian tengah. Sebagian relawan medis, tim SAR, tentara mengistirahatkan diri setelah melalui hari yang cukup panjang, keadaan mulai kondusif. Korban sudah berhasil mereka evakuasi dan dibawa ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas perawatan yang memadai. Zetta berhasil mengeluarkan besi sepanjang 1 meter dari tubuh korban. Dan, dia bersyukur karena sebelum dirujuk ke rumah sakit kondisi korban sudah melewati masa kritisnya.
"Mas Bian dulu mantan pemain sirkus ya?" Pertanyaan konyol itu terlontar dari mulut Kalaia. Membuat teman-teman Kalaia termasuk Satria menahan kekehan geli. "Soalnya suka banget tiba tiba debus. Mas kira punggung Mas itu gak akan rontok tulangnya kalau tertimpa beton? Memang punya nyawa berapa sih? Sembilan? Apa sebelas hah?! Kamu bukan kucing ya!"
Leo lantas menimpali dengan iseng. "Kucing garong kali ah." Disusul gelak tawa teman teman Kalaia.
Fabian mendengkus, wajahnya masih saja datar. Dia mencoba bangun dari posisinya, dibantu oleh Satria yang sejak tadi duduk di samping tandunya. "Gue gak bisa nolong ya Fab, bini lo kalo tantrum serem." Ucap sahabat Fabian itu.
Fabian berdecak, membuat mereka semua sontak diam. Dia menatap wajah Kalaia yang masih kesal, dan bersungut sungut ingin memakinya lagi. "Bisa tenang sebentar?" Fabian bertanya dengan intonasi pelan pada istrinya.
Bukannya tenang, Kalaia justru memukuli lengan dan dada suaminya beberapa kali sambil menahan tangisnya. Teman-teman Kalaia juga Satria seolah paham dan memberi waktu pada pasangan suami istri tersebut untuk bicara berdua. Fabian menghela nafas dalam-dalam saat istrinya menangis sambil terus meracau kesal padanya.
"Kamu beneran mau aku jadi janda ya?! Gak mikirin aku sama Narion kalau tadi Mas Bian kenapa napa?" Racau Kalaia, sesenggukan.
Fabian mengulurkan tangannya—menghapus jejak air mata di wajah Kalaia menggunakan ibu jarinya. "Kemari Kalaia." Pinta suaminya, namun Kalaia menolak lantaran masih kesal.
Fabian lantas mendesis nyeri, dan menyentuh punggungnya. Kalaia sontak mendongak dan menatap khawatir pada suaminya. "Mas gapapa? Apanya yang sakit sini aku lihat." Tanyanya, sambil menyentuh lengan sang suami.
"Makanya jangan sok jagoan!" Kalaia mencibir lagi, namun dia mengusap usap punggung suaminya. "Sudah mendingan?"
Fabian mengangguk, menarik dua sudut bibirnya mengulas senyum tipis. Sangat tipis sampai tidak akan disadari oleh istrinya itu. Tangan Fabian menangkup wajah Kalaia, memandanginya dengan seksama mengunci tatapan mereka seolah Kalaia adalah satu satunya objek yang bisa Fabian lihat.
"Apa?" Kalaia bertanya keheranan, saat Fabian terus menatapnya. Lalu suaminya berkata. "Maaf, sudah membuat kamu khawatir."
Tidak ingin memperpanjang lagi, kemudian Kalaia menganggukkan kepalanya. "Dimaafin, janji jangan diulangi!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DETAK
Teen FictionPramoedya Series ke-2 Cerita ini punya rate 17+ [harsh world, sensitive topic, skin-ship, kissing, smoking, suicide, etc. Jadi harap bijak dalam memilih bacaan. *** Di umur yang telah menginjak seperempat abad ini, banyak hal yang harus Kalaia tunta...