29. 53 Hour

8.3K 484 10
                                    

Zetta mengurung diri dalam ruangannya, sendirian, bahkan menonaktifkam ponselnya. Pernyataan Bella di kantin tiga hari lalu masih terngiang jelas terlebih lagi saat ia menyinggung perihal kenaikan pangkatnya seusai simulasi nanti.

Pantas saja beberapa hari terakhir ini Zetta merasa menjadi pusat perhatian ketika melintasi koridor atau berpapasan dengan para dokter maupun perawat. Ternyata inilah jawabannya, karena kedekatannya dengan Satria yang mulai tercium oleh publik.

"Gue benci kayak gini." Zetta mengatukkan kepalanya pada alas meja. Terisak pelan dengan rasa sesak dihatinya.

Zetta terisak keras, menulikan pendengarannya. Hingga tidak sadar jika ada seseorang yang berdiri kaku di depan meja kerjanya saat ini.

"Ze ..." Panggil orang tersebut.

Kepala Zetta terangkat, mata sembabnya menangkap siluet tubuh tinggi berjas putih yang amat ia kenali. Sosok itu mendekat dan dengan segera Zetta menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Membuang muka enggan melihat orang itu.

"Ze ... What happend? Why are you crying hm?" Zetta masih memalingkan wajah, bahkan ketika tubuhnya berusaha diraih untuk menatap sosok itu.

"Pergi, saya mohon." Pinta Zetta dengan mata terpejam.

"No ... kamu kenapa sebenarnya? Kenapa hp kamu tidak bisa dihubungi."

Akhirnya Zetta kalah, ia menolehkan wajah pada sosok yang duduk bertelut dihadapannya. Dengan keyakinan penuh ia berkata. "Dokter Satria ... tolong pergi. Saya mohon, jangan muncul dihadapan saya lagi."

"Saya mohon ..." Terakhir, ucapan Zetta penuh akan sirat permohonan. Membuat Satria terpekur sesaat.

Apa yang terjadi pada Zetta sebenarnya? Apa dirinya membuat kesalahan? Pertanyaan itu memenuhi benak dokter muda itu.

"Kamu kecapekan ya?" Satria masih berusaha menerka dengan pikiran positif. "Mau saya buatkan teh hangat supaya lebih segar? Atau mau saya belikan apa agar kamu lebih baik-"

"Dok—"

"Saya belikan camilan dulu du—"

"STOP!" Bentak Zetta tidak lagi terkontrol.

Sesaat hening menyelimuti keduanya. Satria terdiam, menatap tidak percaya pada perempuan itu.

"Pergi dok, saya mohon. Sampai kapan dokter akan menyiksa saya?"

Zetta kehilangan segalanya sejak dulu, keluarga, orang tua, dan Zetta tidak ingin kehilangan apa-apa lagi sekarang. Hadirnya Satria akan merusak impian Zetta, ia takut kehilangan pekerjaannya, dia juga takut akan kehilangan para sahabatnya jika terus berdekatan dengan Satria-Karena Zetta tahu kalau hadirnya Satria memiliki niat terselubung untuk mengusik rumah tangga Kalaia dan suaminya.

Zetta tahu semuanya, ketika beberapa waktu lalu ia mendengar secara langsung jika Laki-laki dihadapannya ini berniat menghancurkan hidup Fabian-Suami sahabatnya. Dan membalas dendam yang entah atas dasar apa.

Satria menatap sendu perempuan itu, "Zetta tolong jangan begini, saya ada salah sama kamu? Saya minta maaf. Tapi jangan berbicara seperti itu lagi." Suaranya nampak putus-putus.

Zetta menangis lagi, lebih keras sampai nafasnya tersendat-sendat. Memberontak ketika Satria berniat merengkuhnya.

"PERGI DOK!" Bentak Zetta sekali lagi. "Dokter anggap apa saya selama ini? Perempuan bodoh yang secara sukarela mau dijadikan pelarian karena gagal mendapatkan hati Kalaia? Iya?! Oh ... atau dokter sengaja menaikkan pangkat saya agar saya lebih terlihat murahan di depan banyak orang?"

Satria menatapnya tidak mengerti, "Maksud kamu apa?"

"Berhenti bersikap bodoh, saya tahu segalanya. Saya tahu kalau anda berniat membalas dendam pada Fabian. Dan dokter berniat memanfaatkan saya, Kan?"

DETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang