💞 42. -Semua Terluka- 💞

5.1K 809 468
                                    

42

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

42. Semua Terluka


Layar berbentuk persegi panjang yang sedang menayangkan siaran berita tidak mengusik pria itu. Raganya memang di ruangan tersebut, namun pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Adan merasa ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Hari-hari yang biasanya ia lewati dengan tawa bersama keluarga kecilnya, tapi hari ini, malah banyak pertumpahan air mata.

Pantaskah ia menyebut dirinya orang tua? Disaat ia sendiri tidak tau ada luka yang disembunyikan putra-putrinya.

Denting yang berbunyi di dinding mendominasi ruangan tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

Adan mengeluarkan kertas yang ia sembunyikan di balik bantal.

Surat yang ditulis oleh tangan mungil Qia, dan ada jejak air mata yang mengenai kata betulisan 'love'.

"Apa Papi gagal jadi orang tua untuk kalian?"

Matanya kemudian tertuju pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruangan tersebut. Di foto itu tampak keluarga yang sedang tersenyum penuh tawa, seperti keluarga yang bahagia. Namun, siapa sangka keluarga yang sangat bahagia itu ternyata menyimpan banyak luka pada masing-masing anggotanya.

"Boleh kasih Papi senyum tulus dari kalian semua?"

Entah itu hanya bayangan di fikirannya saja, Adan tiba-tiba melihat foto yang sedang tersenyum itu seketika berubah menjadi foto yang sendu. Pikiran Adan kembali melayang, apa selama ini keluarganya sedang berpura-pura?

"Papi!"

Adan tersentak. Kepalanya menoleh saat mendengar panggilan lirih tersebut.

Qadaffi berjalan mendekat dan duduk di sebelah sang Papi. Tangan mungilnya terulur dan menghapus air mata yang mungkin tanpa disadari Papinya telah ada sejak tadi.

"Papi hebat," puji Qadaffi tulus. Lengkungan indah terbit di bibirnya dan itu menenangkan hati Adan.

Adan mengusap surai lebat milik sang putra.

"Boleh Papi tau apa yang Abang rasain selama ini?"

Qadaffi mengangguk. "Abang pikir, Papi sama Mami gak sayang sama Abang," ucapnya sambil menunduk.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Soalnya aku setiap hari selalu disuruh belajar."

Adan terdiam, di benaknya banyak hal yang janggal. Tapi ia tidak ingin terburu-buru menanyakan. Ia ingin perlahan memecahkan permasalahan ini, dan mencari akar permasalahannya.

"Bukannya kamu suka belajar?"

Qadaffi mengangguk. "Aku suka belajar, tapi aku gak suka disuruh belajar."

"Apalagi pas aku liat Papi sama Mami gak pernah nyuruh Qabil atau Qia untuk belajar. Aku setiap pulang sekolah selalu ditanyai dapat nilai berapa, gimana sekolahku. Habis makan, sebelum tidur, selalu diingetin untuk belajar. Aku gak suka, Pi. Aku ngerasa Papi sama Mami selalu nuntut aku, sedangkan Qabil sama Qia selalu dikasih kebebasan. Mereka bebas main kemana-mana, tanpa harus mikirin pelajaran."

TRIPLE-QTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang