3

760 113 0
                                    

Gelvan membuka pintu rumah megahnya yang tampak sepi dan gelap dengan keadaan masih menggunakan seragam.

Ia melihat ke sekitar, benar-benar tiada siapa pun selain kesunyian.

Tapi tidak heran. Suasana dalam rumah seorang Gelvan Ardhian memang begini. Sepi.

Cowok itu lalu menaiki tangga untuk sampai ke kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara. Seperti suara orang berlari.

Tak hanya itu. Gelvan juga mendengar suara cekikikan kecil di belakangnya. Tapi saat menoleh, tiada siapa pun.

"DORRR!"

Suara jeritan melengking dari seorang gadis kecil membuat Gelvan sedikit terperanjat, walaupun ia kembali memasang wajah cuek setelahnya.

"Kakak kaget, ya?" tawa Jessie——adiknya.

Jessie meredakan tawanya. "Kita main, yuk, Kak! Jessie punya mainan baru, loh," kata gadis berusia 9 tahun itu.

"Gak bisa."

"Kenapa? Kakak sibuk, ya? Atau–"

"Dibilang gak bisa, ya, gak bisa!" seru Gelvan dengan nada tinggi, yang tentu saja langsung membuat Jessie terkejut.

Sembari membuang pandangannya, Gelvan melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Jessie sendiri di tangga.

Tidak. Jessie tidak menangis. Hanya saja, gadis itu menunduk sedih karena baru saja dibentak Kakaknya sendiri. Walau bagaimana pun Jessie itu seorang anak kecil yang tak sepatutnya diberi siksaan mental seperti ini.

Tapi sesaat kemudian tangan Jessie ditarik lembut oleh seseorang.

Ia adalah Siska——Mamanya, sekaligus Mama dari Gelvan. Ia juga ditemani oleh suaminya, Candra——Papa dari Gelvan dan juga Jessie.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Siska.

Jessie menatapnya sendu, walaupun ia tampak sedikit terkejut. Entah mengapa. "Ma...."

"Hm?"

"Apa Jessie punya salah ke Kak Gelvan, ya? Kenapa Kak Gelvan gini terus ke Jessie," keluhnya pada sang mama.

Siska mengembuskan napasnya pelan sambil tersenyum. "Mungkin Kak Gelvan-nya lagi capek habis pulang sekolah."

"Padahal Jessie baru pulang dari asrama. Kirain Kak Gelvan bakal berubah baik ke Jessie. Ternyata enggak."

"Hei... Kok ngomongnya gitu? Mama yakin, kok. Kak Gelvan bakalan main sama kamu kalo dia udah gak capek. Sekarang, kamu masuk kamar, ya? Nanti Mama bawain kue." Siska membelai lembut pipi Jessie.

Tapi sang anak justru memasang ekspresi bingung, sebelum ia mengangguk dan pergi.

"Aku harus ngomong sama Gelvan," gumam Candra.

"Gak usah. Biar aku aja," pungkas Siska.

"Tapi ini bukan pertama kalinya dia bentak-bentak Jessie gini."

Siska tersenyum, "Udah... Nanti biar aku yang ngomong ke Gelvan, oke?"

Candra mengangguk mendengarnya.

Sementara dalam kamarnya, Gelvan baru saja selesai berganti baju.

Cowok itu merebahkan dirinya pada kasur, dan menatap langit-langit kamarnya yang terlihat kelabu.

Terlebih lagi ketika mengingat bahwa ia pernah kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya.

Gelvan ingat betul bagaimana seseorang ini meninggal. Saat mobil berwarna merah tiba-tiba menabraknya bersama orang itu.

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang