50

393 37 0
                                    

Di jam delapan malam, Thalea berjalan mengendap-endap untuk masuk ke rumahnya. Kalau tidak, Linda akan segera tahu dan pasti membunuhnya.

Wajar saja. Sejak pulang sekolah tadi, ia langsung pergi ke rumah Agis bersama Ellen dan nongkrong di sana sampai selarut ini.

"Ngapain gue datang diem-diem kayak maling gini, ya? Jujur aja, lah," gumamnya kemudian.

"ASSALAMU'ALAIKUM, TANTEKU YANG CETAR  MEMBAHANA BAIK DAN TIDAK SOMBONG! MAAF AKU PULANG TEL...."

"...lat."

Ucapan Thalea sempat terhenti dikarenakan sangat terkejut atas kehadiran seseorang yang sangat tidak ia duga.

Nina, Kakaknya.

"Wa'alaikumsalam. Sini dulu, Thal." Linda mengajak Thalea untuk duduk bersama.

Sementara Thalea yang terdiam, Nina malah berdiri seketika sambil tersenyum lebar dengan air mata yang berlinang.

"Le–"

"Stop. Jangan panggil gue dengan nama itu." Thalea sempat menggeleng sebelum pergi ke kamarnya dengan cepat.

BRAK!!

Suara bantingan itu nyaring terdengar memenuhi ruangan. Tapi Nina sama sekali tidak terkejut.

Ia tahu bahwa Thalea sangat membencinya. Ia sadar bahwa Thalea tidak ingin melihatnya lagi. Namun harus ada hal yang harus diluruskan.

"Samperin aja. Kami akan biarin kalian ngobrol," bisik Herman yang dibalas anggukan kecil oleh Nina.

Nina pun menaiki tangga kayu untuk menuju kamar sang adik. Ia mengetuk-ngetuk pintu dengan kencang sambil menahan tangisnya.

"Lea! Buka pintunya bentar! Gue harus bilang sesuatu sama lo! Tapi buka dulu!" teriak Nina.

"Gak ada yang perlu gue denger dari mulut lo!" balas Thalea yang berada di balik pintu.

"Gue ngerti lo marah! Lo berhak banget benci sama gue, tapi lo jangan benci Bunda sama Ayah!"

"Lea! Buka pintunya! Lea!! Gue akan jelasin semuanya! Buka, Lea!"

Dan sedikit senyum pun mulai muncul di wajah Nina tatkala Thalea membuka pintu kamarnya walau dengan ekspresi tak senang.

"Udah gue bilang. Berhenti panggil gue dengan nama menjijikan itu," sarkas Thalea hendak kembali menutup pintu, namun nihil karena Nina memaksa masuk.

Ia sudah terbiasa dengan panggilan itu jika Om dan Tantenya yang mengatakannya. Namun saat Nina memanggilnya dengan nama itu, Thalea benar-benar muak.

"Kenapa? Kenapa lo gak mau gue panggil begitu?" tanya Nina.

Nina menghela napasnya, "Gue kangen sama lo...."

"...Lea."

"LEA YANG DULU UDAH GAK ADA!!"

"...Jadi stop. Gue gak mau denger nama itu lagi."

Suara Thalea bergetar hebat saking kesalnya. Ia sudah sangat benci dengan nama itu. Bahkan jujur saja, rasa bencinya sama dengan rasa bencinya pada Gelvan.

"Kenapa? Lo masih tetep adek gue, kan?" Ada sejumput harapan dalam kalimat Nina barusan.

Thalea tertawa sinis, "Baru sekarang gue adek lo? Terus dulu gue apa? Anak buangan?"

"Lea... Gak gitu. Ayah Bunda gak bermaksud untuk itu. Mereka–"

"Gak usah lo jelasin. Gak penting buat gue. Sekarang lo cabut. Gue muak sama drama hidup kalian," potong Thalea.

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang