33

398 40 0
                                    

Malam hari tiba. Thalea baru saja turun dari kamarnya dengan kaos hitam polos, serta celana pendeknya.

Cewek itu berdiri di depan Herman yang tengah duduk santai di ruang tengah sambil meminum kopi hangatnya.

"Om," cicit Thalea.

Herman menoleh, "Ada apa, Lea?"

Tanpa menjawab lagi, Thalea memberikan sebuah amplop putih pada Om-nya itu.

Perlahan-lahan, Herman mulai membaca surat itu. Tidak ada raut wajah kesal sama sekali di wajah pria itu. Padahal jelas sekali tertulis bahwa yang dibacanya ini adalah surat pemanggilan orang tua atas kelakuan astagfirullah anaknya.

"Om gak marah?" tanya Thalea sadar ekspresi wajah sang Om.

"Enggak. Kan emang udah biasa kamu kayak gini."

Thalea mengusap dadanya, "Kirain...."

"Tapi kalo Tante kamu tau gimana, ya?"

Cewek itu terbelalak. Gawat. Gawat jika sampai Linda tahu. Malam ini, akan menjadi malam paling panjang dengan ocehan dari wanita itu.

"Jangan, dong. Biar Om aja yang ke sekolah aku besok. Tante gak usah tau apa-apa. Bisa abis, aku. Ya? Ya?" Thalea memohon.

"Gimana, ya... Oke, deh."

"Gitu, dong."

"BU! IBU! SINI DULU BENTAR!"

Eh? Apa-apaan ini? Mengapa Herman berteriak seperti itu? Wah, bahaya. Menyebalkan juga ternyata Om-om satu ini.

"Ada apa, Pak? Pake teriak-teriak segala," ucap Linda yang baru datang dari dapur.

"Ini, si Lea dapet hadiah," balas Herman pada sang istri yang terlihat kebingungan.

Saat surat itu sudah berada di tangan Linda, Herman sudah tahu akan terjadi bencana alam sebentar lagi.

Pria itu beranjak, "Om pergi dulu, ya."

"Mau ke mana? Di sini aja, lah, Om," keluh Thalea tidak mau ditinggal sendirian dengan harimau yang sebentar lagi akan mengamuk ini.

"Mau kasih makan si Robert. Dah." Herman melambaikan tangannya dengan senyuman yang mengesalkan.

"Kamu kenapa, sih? Tante aja belum baca ini. Se-takut itu, ya? Emang ini apa?" heran Linda.

"Mending gak usah Tante baca, deh. Gak penting juga. Sini." Thalea hendak mengambil surat yang dipegang Linda, namun ditepis oleh wanita itu.

"Semakin kamu larang, semakin Tante curiga." Linda mulai menaruh matanya pada surat. "Eh, bentar. Kamu liat iket rambut Tante, gak?"

"Fyuhh...." Thalea membuang napasnya lega.

"Kok diem? Kamu liat iket rambut Tante, gak, Lea?"

"Kan punya Tante. Kok malah nanya aku. Aneh, dah."

"Oh... Jadi Tante harus nanya siapa? Nanya Om yang sama sekali gak pernah ngiket rambut itu? Atau si Robert? Oh, atau Tante harus nanya diri sendiri, gitu? Iya?"

"Ya Allah... Masalah iket rambut aja heboh amat. Terus itu yang ada di kepala Tante apaan?"

Linda meraba-raba kepalanya sendiri. Ternyata ikat rambutnya memang masih ada padanya.

"O–oh...." Linda berusaha membuang mukanya, dan kembali membaca surat itu.

"Mati, gue," gumam Thalea.

Dan betul saja. Tatapan harimau lapar sudah nampak dari sorot mata Linda yang tajam. Seakan siap untuk menerkam keponakan tidak berakhlaknya ini.

"YA ALLAH, YA RABB!! Ini apa lagi, Lea?! Hah?! Apa ini???!!!" tanya Linda frustrasi.

"Surat pemanggilan orang tua. Tante udah baca, kan?"

"Iya Tante tau ini surat apaan! Tapi kenapa kamu bisa dapet ini?!"

"Kalo sampe kamu dikeluarin dari sekolah yang ini, Tante gak tau sekolah mana lagi yang mau nerima kamu! Bikin ulah... terus kerjaannya. Heran. Gak bisa sekolah yang rajin, gitu?!"

"Kalo diajak ngomong itu jawab!" gertak Linda menyadari Thalea hanya diam saja sedari tadi.

"Ya, aku kak tau harus jawab apa, Tan."

"Oh... Udah berani ngejawab sekarang?! Ngejawab aja terus! Jawab!"

Di tempat lain pula, Gelvan terduduk di rooftop rumahnya dengan posisi yang memeluk kedua lututnya sendiri.

Embusan angin malam yang lembut, juga bintang-bintang kecil yang bertaburan menemani langit biru keabu-abuan ini sepatutnya dapat merilekskan mata yang melihatnya.

Tapi tidak untuk seorang Gelvan. Tatkala ia membayangkan kejadian siang tadi, itu semakin membuatnya marah.

Bibir itu. Rasa itu. Momen itu. Semuanya terperangkap dalam kepala cowok itu, dan tidak dapat keluar.

"Fine. Lo menang." Thalea menghela napas, "untuk itu, gue punya hadiah buat lo."

Cup....

Sialan. Kejadian menjijikan tadi terbayang-bayang lagi. Tak hanya itu. Bahkan Gelvan ingat betul bagaimana wajah Thalea saat itu.

Tangan Gelvan mengepal. Bisa-bisanya Thalea mengambil sesuatu dari kehidupannya yang bahkan belum pernah ia berikan pada cewek lain.

Yaitu sebuah ciuman pertama.

"Gue benci lo, Thalea."

(^-^)

Jujur saja. Jika membayangkan kata "pagi" pasti yang ada di pikiran itu adalah udara yang segar, embun yang sejuk, dan suara kicauan burung yang saling berbalas.

Namun definisi "pagi" kali ini berbeda bagi seorang Thalea. Pasalnya, baru saja datang ke sekolah, dirinya sudah disuruh oleh Gelvan untuk membawa beberapa fail dan memfotokopi-nya.

Masih waras jika tempatnya tak jauh. Tapi ini? Gelvan menyuruhnya pergi ke tempat di ujung jalan sana dengan alasan mesin fotokopi di sekolah rusak.

Jelas sekali ia kebingungan. Sudah tentu jarak sekolah ke ujung jalan itu memakan waktu. Bagaimana jika saat Thalea sampai dan pelajaran sudah dimulai? Cewek itu jadi tak bisa tidur di kelas.

Namun saat Thalea menanyakan hal itu, Gelvan hanya menaikkan bahunya cuek dan bilang, "Itu urusan lo."

Biasanya Thalea tak akan peduli dan memilih untuk pergi. Namun kali ini ia tak punya energi untuk melawan Gelvan. Pikirnya, mungkin jika menurut kali ini Gelvan akan berhenti mengganggunya.

MUNGKIN.

Semua pikiran semrawut-nya buyar tatkala melihat seorang cowok berhenti di pinggirnya dengan motornya. Sekilas, mereka saling bertatapan.

Thalea mengernyit, "Elo?"

-To Be Continued-

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang