17

451 57 0
                                    

Dan betul saja. Kedua insan itu saling melempar tatapnya saat Gelvan berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring untuk yang kedua kalinya.

Jika Gelvan berhasil memasukkan kembali bola itu, tamat sudah riwayat Thalea yang akan kalah dengan poin yang didapat cowok itu.

Seperti kata Thalea tadi, mereka bermain hanya satu lawan satu. Tidak ada siapa pun yang membantu di antara keduanya.

Walau, ya banyak sekali siswi yang histeris karena patah hati karena melihat Gelvan bermain bersama Thalea.

Namun nampaknya dunia masih memberikan Thalea kesempatan. Mereka berdua terengah-engah dengan skor yang sama. Yaitu dua-dua.

Kali ini penentuan. Jika salah satu menang, maka yang kalah harus mengabulkan permintaan si pemenang. Setidaknya kalau permintaan itu masih masuk akal.

Tapi dugaan Thalea keliru. Dunia tidak sedang berpihak padanya sama sekali. Karena kini, cewek itu sedang terbengong menyaksikan Gelvan yang baru saja melempar bola ke ring. Dan ternyata masuk.

Semua orang terlihat ricuh dengan berbagai teriakan selebrasi yang amat membuat sakit kuping.

Gelvan berjalan menuju Thalea dan menatap cewek itu erat-erat.

"Permintaan pertama, besok pagi datang ke sini."

Hanya itu yang dilontarkan oleh Gelvan sebelum benar-benar angkat kaki bersama teman-temannya.

Thalea sempat kebingungan sebelum akhirnya, "Woy! Budek! Besok, kan, libur!"

(^-^)

Begitu sampai rumahnya, Gelvan dibuat terkejut oleh Siska yang tiba-tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.

"Sayang... Kamu dari mana aja? Mama khawatir...," lirih wanita itu.

"Dari mana aja kamu?" tanya Candra dingin, mengingat jam pulang putranya ini tidak seperti biasa.

Harus diakui memang, bahwa setelah pulang sekolah tadi, Gelvan sempat mampir ke rumah Lio.

Hal ini dilakukannya agar tidak perlu mengabiskan waktunya di rumah.

Tanpa menjawab perkataan kedua orang tuanya, Gelvan langsung pergi menuju kamarnya.

(^-^)

Suara decitan pintu membuat Gelvan yang sedang sibuk di meja belajarnya pun menoleh.

Dilihatnya Candra masuk ke kamarnya sambil sesekali melihat-lihat sekeliling kamarnya.

Pria itu mendekati sang putra, dan menepuk pundaknya.

"Maaf, ya."

"Papa belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu," sambungnya pada sang anak.

"Tapi Papa mau kita lebih deket dari ini. Layaknya keluarga beneran...."

"Udahan dulu nulisnya. Sekarang kamu siap-siap. Kita makan di luar." Candra kembali menepuk pundak Gelvan sebelum meninggalkan cowok itu sendirian lagi.

Mau tidak mau, Gelvan harus mau. Walaupun sudah bisa dipastikan jika cowok itu tidak akan nyaman jika sudah menyangkut soal keluarga.

Apalagi terhadap Papanya sendiri. Suatu insiden membuat Gelvan sangat-sangat benci pada Candra.

(^-^)

"Baju aku bagus, gak, Pa?" tanya Jessie dengan memperlihatkan gaun berwarna merah muda yang akan dipakainya untuk acara makan malam kali ini.

Candra mengangguk sambil tersenyum. "Bagus banget. Anak Papa emang cantik."

Kemudian Jessie menerima uluran tangan dari Candra. Padahal, Siska pun sedang mengulurkan tangannya. Mungkin anak itu ingin bermanja-manja dengan Papanya.

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang