6

586 83 0
                                    

Dengan langkah mungilnya, Jessie memberanikan diri untuk pergi ke kamar Gelvan yang pintunya kebetulan terbuka.

Saat Jessie mengintip, dilihatnya sang Kakak sedang duduk di meja belajarnya sambil menulis sesuatu.

"Kak...," panggilnya.

Gelvan menoleh, lalu menghampiri Jessie.

Tinggi badan Jessie yang tentu saja kalah jauh dengan Gelvan membuat gadis kecil itu sedikit ketakutan. Ia sama sekali tidak berani menatap Kakaknya itu.

"K–kata Mama, Kakak harus ke bawah. Makan dulu," cicitnya.

Gelvan membuang napasnya pelan, "Bentar lagi."

Cowok itu lalu kembali ke meja belajarnya, dan mengabaikan Jessie yang masih diam di tempatnya. Gadis itu belum pergi.

"Kak...."

Gelvan menoleh lagi mendengus dingin, "Apa lagi?"

"Kok Kakak masih jahat ke Jessie?"

Entah mengapa pertanyaan itu membuat hati Gelvan tersayat. Sangat nyeri. Tapi ia tahan, dan kembali menatap Jessie datar.

"Kalo Jessie punya salah ke Kakak, Jessie minta maaf. Tapi tolong... Jessie juga mau kayak temen-temen. Main sama Kakaknya." Gadis itu menunduk.

Kini Gelvan beranjak dari duduknya, lalu mendorong tubuh Jessie pelan agar menjauh dari pintu kamarnya yang terbuka.

Gadis kecil itu sudah siap untuk menerima gebrakan pintu yang keras dari Kakaknya. Karena posisi Gelvan saat ini memang seperti ingin membanting pintu sekeras-kerasnya.

Tapi di luar dugaan. Ketika Jessie menutup matanya karena takut mendengar suara bantingan pintu, justru gadis itu tidak mendengar apa pun.

Ternyata Gelvan menutupnya pelan. Namun tetap saja. Hatinya masih sakit karena terus diacuhkan seperti ini oleh Gelvan.

Bahkan saat Jessie pertama kali membuka mata pada dunia, sepertinya Gelvan sudah benci padanya.

Gadis kecil itu lalu menuruni tangga dengan wajah murung seraya menunduk.

Dengan melihat itu saja, Siska dan Candra sudah paham apa yang terjadi. Sepasang suami istri itu saling menatap di meja makan.

Melihat Jessie sudah ikut duduk, di situlah Siska bertanya, "Sayang... Kak Gelvan-nya mana?"

Jessie menggeleng pelan meresponsnya.

Siska mengelus-elus rambut hitam gadis itu sembari tersenyum.

Lain halnya dengan Candra. Pria paruh baya itu nampaknya sudah habis kesabaran melihat tingkah laku Gelvan.

"Jessie gak lapar. Jessie tidur duluan aja, ya," pamit Jessie dengan suara kecilnya, meninggalkan Siska dan Candra.

"Iya, sayang. Bobo yang nyenyak, ya," ujar Candra lembut. Tapi pria itu memasang wajah garangnya kembali.

Kemudian, Candra beranjak dari duduknya lalu hendak pergi ke kamar Gelvan, tapi dicegah oleh sang istri.

"Kalo mau marah-marah, mending gak usah," cegah Siska.

"Tapi anak itu harus dikasih tau. Udah berapa kali dia kayak gini ke Jessie?" Candra masih mengatur emosinya agar tidak meledak.

"Udah... Kalo Jessie denger gimana? Gak baik ribut-ribut depan anak kecil. Biar aku yang ngomong ke–"

Ucapan Siska terhenti ketika melihat Gelvan baru saja keluar dari kamarnya seraya membawa gelas di tangannya. Sepertinya cowok itu hendak mengambil minum, namun tidak sengaja melihat kedua orang tuanya cek-cok di tangga.

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang