21

492 48 0
                                    

Tapi sayang. Itu tidak terjadi sama sekali.

Karena setelah keluar dari kamarnya dan membukakan pintu, Gelvan hanya menatap Thalea datar, seolah-olah tidak peduli akan gaya berpakaian cewek itu.

Begitu pula dengan Thalea. Walau ia tahu bahwa sang tuan rumah sudah membukakan pintu untuknya. Cewek itu terlalu sibuk memperbaiki sandal yang menyulitkannya untuk berjalan.

"Jangan bahas penampilan gue. Ngapain lo ngajak gue ke sini?" tanya Thalea ketus.

"Gak usah banyak tanya. Masuk," balas Gelvan tak kalah ketus.

Thalea memicingkan matanya. "Gue ini tamu lo, ya. Bukan pembantu. Ngomong yang bener bisa, kan?"

"Masuk."

"Apa lo bisa jamin gak akan ngapa-ngapain gue?"

Gelvan menghela napasnya gusar. Cewek satu ini benar-benar melatih kesabarannya.

Cowok itu membalas, "Masuk. Lagian di sini gak ada siapa-siapa."

"Justru itu gue gak mau masuk. Gue gak mau diapa-apain sama lo."

"Selera gue buat ngapa-ngapain cewek itu terlalu tinggi. Apalagi buat cewek modelan kayak lo...."

"Masuk." Gelvan mengakhiri hinaan menusuknya dengan perintah yang mau tidak mau dituruti oleh Thalea, walaupun cewek itu sempat mengumpat pelan.

Kemudian Thalea duduk di sofa mewah, dan sempat menyisir beberapa dekorasi rumah megah milik Gelvan ini.

Bukannya disuguhi makan kecil atau setidaknya minuman selamat datang, yang Thalea dapat lihat yang tersaji di meja adalah laptop, dan beberapa kertas yang berisikan macam-macam rumus yang sama sekali tidak ia mengerti.

"Lo mau nyuruh gue ngapain lagi? Gak cukup nyiksa gue di sekolah?" Thalea tak habis pikir dengan makhluk hidup satu ini.

Dalam pikirannya, Gelvan hanya laki-laki yang tidak mempunyai hati. Bisa-bisanya cowok itu menyuruhnya ke sini malam-malam, hanya untuk melakukan sesuatu yang mungkin saja bisa dilakukan esok hari.

Dan dalam pikiran Gelvan sendiri pun, Thalea tidak lebih dari seorang gadis yang pemalas, keras kepala, tidak patuh, dan bukan tipenya sama sekali.

Hanya saja, Gelvan mengajak Thalea ke sini sekarang adalah untuk mengedukasi cewek itu agar tidak lagi menjadi pribadi yang buruk.

Gelvan melakukan ini semua karena ia mulai menaruh perasaan pada Thalea? No. Big no. Ia melakukan ini karena Thalea kini sudah menjadi bagian dari OSIS.

Jika cewek itu masih bersikap seperti ini, atau membuat onar, nama OSIS dan warga sekolah akan tercoreng. Termasuk namanya sendiri.

Gelvan tidak mau itu terjadi.

"Lo dikasih tugas sama Bu Safira buat nulis laporan-laporan ini," dingin cowok itu.

"Lo ketuanya, kan? Kenapa harus gue?"

"Karena ini tugas sekretaris."

Thalea mendengus. Ia harus mencari seribu cara agar ini dapat dibatalkan. Karena jika saja bukan Bu Safira yang terkait, mungkin cewek itu tidak akan susah-susah memikirkan hal ini.

Tapi kemudian cewek itu tersenyum miring. Kepalanya sudah terisi ide yang cukup gila.

"Well, gue gak punya laptop. Jadi gue gak usah ngerjain ini semua, kan?" Thalea menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum jahil.

"Jadi kalo lo mau laporin gue ke Bu Safira, silakan aja. Bu Safira juga bakal–"

Tanpa menjawab, Gelvan menyodorkan sebuah laptop apple lain miliknya pada Thalea, sehingga ucapan cewek itu barusan terhenti.

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang