51

381 34 1
                                    

"Inget, ya. Kita masih saling benci. Tapi karena lo denger bacotan gue tadi, rasa benci gue berkurang satu. SATU. Oke? Gue cabut dulu."

Melihat Thalea yang mulai berjalan menjauh, Gelvan berdiri.

"Thalea."

Lalu Thalea menoleh ke arah Gelvan, namun setelahnya cowok itu malah menggeleng kecil seolah-olah tidak jadi bicara....

Mengingatnya, Thalea mendengus dan menutup mukanya sendiri dengan bantal.

"Dasar gak jelas."

(^-^)

Dilihat sekilas saja, posisi tidur Thalea saat ini benar-benar tidak mencerminkan seorang manusia tertidur.

Jangankan selimut, bantal gulingnya saja mendadak sudah berada di lantai. Tidak usah ditanya lagi bagaimana ekspresi wajahnya saat ini. Benar-benar sesuatu.

Bukan oleh suara jam wekernya, tidur cantik Thalea tiba-tiba terusik dengan bunyi dering telepon dari ponselnya.

Tanpa melihat siapa sang penelepon, cewek itu langsung menjawab, dan menaruhnya di samping telinganya.

Dengan suara yang masih serak, Thalea protes, "Kebiasaan lu, Gis. Pagi-pagi buta nelepon. Ini weekend, lho. Ada apaan?"

"Akhirnya dijawab juga! Cepetan ke rumah sakit Amanah, Lea! Bunda di sini! Dia luka-luka!!"

Mendengarkan suara Nina, wajahnya yang tampak tidak bersemangat, langsung kaget seketika. Sial. Ternyata bukan Agis yang menelepon.

Bundanya di sini? Luka? Rumah sakit? Apa-apaan semua ini? Dari saat ini saja, Thalea yakin bahwa ada suatu hal besar yang harus ia ketahui.

Dengan buru-buru dan pakaian seadanya, Thalea berlari keluar dari rumahnya dan menuju rumah sakit.

Tak peduli dengan Om dan Tantenya yang mungkin masih terlelap, Thalea pergi tanpa pamit dan cepat-cepat pergi.

Setelah sampai, dilihatnya Nina terduduk sendirian sambil menunduk dengan wajah sembap sehabis menangis.

Ia lalu melihat ke arah Thalea yang sedang terengah-engah akibat berlarian lorong ini.

(^-^)

"Bunda datang dari semalem. Gue udah telepon lo beberapa kali, tapi baru dijawab tadi."

Thalea yang sedang duduk di samping Nina, hanya termenung mendengarnya. Tidak heran. Jika sedang tidur, Thalea bisa mendadak tuli. Kejadian tadi saja bisa dikatakan sebagai keajaiban.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Nina tiba-tiba menggulung sedikit lengan baju sebelah kanannya, dan memperlihatkan sebuah goresan seperti luka yang terlihat belum lama.

Lagi, Nina sedikit menyingkirkan bajunya pada  leher sebelah kiri bagian bawahnya, dan terpampang juga sebuah luka goresan.

Thalea kebingungan dengan itu. Apa yang bisa ia mengerti jika Nina menunjukkan luka-luka itu tanpa mengatakan sepatah kata pun?

"Dari kita kecil, hubungan Bunda dan Ayah emang udah gak baik karena Ayah selingkuh. Tapi Bunda coba bertahan demi kita yang belum tau apa-apa waktu itu." Akhirnya Nina mulai menjelaskan.

"Hampir tiap hari mereka berantem, dan Bunda selalu senyum ke kita seakan-akan bilang, Bunda gak apa-apa."

"Mungkin lo gak tau. Tapi beda sama Bunda, Ayah lebih tempramen. Dia selalu marah-marah, bahkan main fisik. Gak cuma ke Bunda, tapi ke gue juga. Alhasil luka-luka ini muncul."

"Puncaknya, Bunda gak kuat lagi. Dia memutuskan buat nitipin kita ke Tante Linda. Alasan kerjaan maksa dia untuk gak ikut kita, dan tetep tinggal bareng Ayah. Tapi karena gue yang udah cukup gede untuk mengerti, gue gak mau ninggalin Bunda sendirian. Akhirnya cuma lo yang dititipin. Gue tau itu bukan tindakan yang paling tepat. Tapi gue juga tau Bunda gak punya pilihan lain. Dia gak mau lo jadi korban Ayah kayak gue."

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang