12

523 65 0
                                    

"WHAT?! Si songong itu masuk OSIS?!" pekik Aura setelah mendengar pernyataan dari Maudy tersebut.

"Ini artinya... dia bakal lebih deket sama my sweety Gelvan, dong?" Aura cemberut, Maudy mengangguk mengiyakan.

"Gak bisa dibiarin! Pokoknya gue harus masuk OSIS juga!" seru Aura.

"Lo lupa? Kita, kan, udah mau lulus. Emangnya masih bisa? Gue ragu." Maudy memainkan rambutnya.

Aura berpikir, "Iya juga, ya? Terus kenapa si gatel itu bisa masuk? Gimana caranya supaya cewek songong plus gatel itu gak deket-deket sama my sweety?"

"AHAAA! Gue tau!" Feli mengacungkan jari telunjuknya.

Aura dan Maudy menengok ke arahnya.

"Gimana kalo kita join OSIS aja?" usul Feli.

Aura dan Maudy hanya memutar bola mata mereka dengan malas.

Sementara itu, Thalea baru saja mendatangi ruang Bu Safira karena mendapat panggilan dari beliau.

Ekspresi cewek itu tampak biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan kekesalan atau hal semacamnya.

Namun semua itu berubah ketika ia melihat tidak hanya Bu Safira yang berada di ruangan, ternyata Gelvan pun ikut hadir.

Sembari mendengus, Thalea duduk walau dengan berat hati karena di sampingnya ini terdapat cowok yang seperti iblis baginya.

"Selamat atas pencapaian kalian. Terutama untuk Gelvan. Karena berkat kamu, Gelvan, Thalea sukses bergabung pada organisasi ini dengan pangkat yang jujur... membuat saya cukup tercengang." Bu Safira membuka pembicaraan.

Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa hati Thalea sekarang ini seperti diiris-iris karena Bu Safira lebih bangga terhadap Gelvan dibanding dirinya yang sudah menulis visi-misi yang cewek itu tidak bisa mengerti sama sekali, sampai larut. Hebat.

"Dan kamu, Thalea. Saya tidak menyangka kalau kamu benar-benar dapat bergabung," sambung Bu Safira. Thalea mencernanya sebagai pujian, sekaligus hinaan.

"Memang gak salah saya kasih tugas ini ke kamu, Gelvan. Kamu berbakat sekali. Terima kasih, ya." Bu Safira tersenyum manis pada Gelvan. Sangat berbeda dengan yang dilakukannya pada Thalea tadi.

"Mohon maaf. Saya hadir di sini untuk dengerin Ibu muji-muji cowok monster ini apa gimana? Gunanya saya di sini apa, ya?" Thalea menunjuk Gelvan dengan jengah.

Bu Safira mengernyit, "Baiklah... Hanya itu saja. Terima kasih sudah hadir, silakan melanjutkan aktivitas masing-masing." Wanita itu mengabaikan ocehan Thalea barusan.

Gelvan mengangguk pelan, lalu pergi dari ruangan Bu Safira dengan penuh etika. Berbeda sekali dengan Thalea yang langsung melengos begitu saja.

"Tunggu."

Keduanya langsung menoleh begitu mendengar suara panggilan dari Bu Safira tersebut.

"Kamu bisa mulai berkegiatan hari ini, Thalea," kata Bu Safira.

Di kepala Thalea, kata-kata itu berartikan, "Kamu akan mulai menderita hari ini, Thalea."

(^-^)

Ketiga orang siswi menghampiri Gelvan dan teman-temannya yang sedang duduk di bawah pohon yang cukup rindang, tempat nongkrong mereka biasanya.

"Hai, Kak. Boleh foto, gak?" tanya salah satu siswi yang ternyata adalah adik kelas itu.

Jelas kelimanya dibuat menengok, dan hal itu membuat ketiga siswi ini hampir meninggal di tempat. Kapan lagi bisa diliatin cogan Scorpion?

"Mau foto? Boleh, boleh. Boleh banget. Ayo," ucap Julian semangat, sampai-sampai ia sudah bergaya di dekat ciwi-ciwi itu.

"Bukan, Kak Julian. Kakak... Kakak yang itu, tuh." Salah satu dari ketiga cewek itu menunjuk Gelvan dengan malu-malu.

"Si Gelvan mah gak suka foto-foto. Sama gue aja." Julian bersikeras.

"Ya udah kalo gak bisa foto sama Kak Gelvan... Yuk."

Mereka bertiga melangkah pergi karena gagal mendapatkan foto bersama cowok yang paling diidam-idamkan oleh hampir semua wanita di sekolah ini. Termasuk guru-guru.

Julian kembali duduk, "Nasib punya muka remahan kuaci. Ya gini, nih."

"Makanya punya muka, tuh, kayak gue, dong...." Axel menyombongkan dirinya seraya merapikan kerah bajunya.

"Gayanya... Lu aja masih di-ghosting sama si Maudy," ledek Lio.

"Tertampar!" Julian tertawa.

"Oplas dulu, Xel! Biar bisa mirip Brad Pitt!" tawa Julian.

"Yehhh... Dah mirip Taehyung gini. Kurang apa, gue? Emang si Maudy aja yang agak-agak keras kepala gitu. Mikirin-nya aja makin sayang." Axel menopang kedua dagunya.

Ia membayangkan sedang berlari-lari dengan Maudy, dan beradu bibir dengan cewek itu sehingga membuatnya manyun sendiri.

"Tuh. Keliatan lagi ngelamun jorok," bisik Julian.

Julian lalu menyingkirkan tangan Axel yang menopang dagunya sendiri, sehingga membuat cowok itu tersadar.

"Bangsat! Lagi enak-enak ciuman, juga," gerutu Axel.

"Lu kalo mau ciuman, sama si Panjul aja, nih. Jul... Sssttt." Lio memberikan isyarat supaya Julian kembali memulai candaannya yang ekstrem ini.

Julian menangkap dan paham betul tanda-tanda Lio barusan. Ia mulai mendekati Axel, mengedipkan sebelah matanya.

"Jul! Gak lucu, anjing! Sana, gak?!" marah Axel.

"Ih, sayang! Kok kamu jahat, sih? Kemarin habis dikasih yang enak-enak, juga." Julian cemberut palsu.

"Jul... Geli, Jul. Udah, lah. Takut beneran gue jadinya." Axel terlihat pasrah.

Julian melepaskan gandengannya pada Axel, "Gue suka, nih, kalo muka lo udah kayak gini."

"Tapi gue jadi ragu kalo lo masih normal," timpal Lio pada Julian.

"Gila. Gue masih punya waras, kali. Kalo pun udah sengklek, gue bakalan cari yang lebih elit dari pada anak ini, nih!" Julian menunjuk pada Axel menggunakan dagunya.

Sekali lagi, mereka semua tertawa terpingkal-pingkal, kecuali Gelvan dan Damar.

(^-^)

"Kamu kenapa, sih? Diem mulu dari tadi," ucap Linda pada Thalea di sela-sela aktivitas makan malamnya.

"H–hah? Gak ada apa-apa, kok," dalihnya.

Linda menghela napas pelan, "Cerita aja, Lea."

"Kemarin–"

"HP-nya rusak. Terus harus ada uang lima ratus ribu buat benerinnya," potong Herman.

Mata Thalea membola kaget. Bagaimana lelaki itu bisa tahu?

"Wahyu yang ngomong. Dia CS-nya Om," sambung Herman menyadari wajah bingung sang keponakan.

Thalea terlihat kesal.

Udah gak bisa di-utangin, mulutnya gacor banget, lagi. Bangke emang si Wahyu, batinnya.

-To Be Continued-

G E L V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang