Bukan Ghea namanya jika hanya menurut saja ketika dimarahi oleh Maya, ibunya. Ghea sebenarnya masih memiliki rasa takut ketika mendengar Maya marah berlebihan apalagi ketika Dimas sudah ikut-ikutan saling sahut-menyahut menceramahinya tapi dengan wajah datarnya Ghea tetap melanjutkan jalan menuju kamar dan membanting pintu dengan keras.
"Kamu ini mau jadi apa? Sudah berani belajar membolos!" bentak Maya membuka pintu Ghea.
Gadis itu duduk diam dengan kepala tertunduk, bukannya merasa bersalah ia malah merasa dongkol dengan ibunya yang setiap hari tak pernah berhenti memarahinya. Bagaimana Ghea bisa betah di rumah jika setiap hari yang ia dengar hanya bentakan, cemoohan dan kalimat-kalimat buruk lainnya yang keluar dari mulut wanita yang telah melahirkannya.
"Ghea kamu dengar mama kan? Kamu ini sudah kelas duabelas, mau jadi apa kamu! Lihat adikmu Dilla meskipun baru kelas sepuluh ia sangat rajin belajar untuk mengejar universitas impiannya. Kalau seperti ini terus mama malu sama teman-teman mama yang membanggakan anak-anak mereka karena top ranking pararel di sekolah, masa depan mereka terjamin nggak seperti kamu!"
Ghea mengembuskan napas panjang, ia tak ingin melawan tapi ia juga bosan jika dibanding-bandingkan terus menerus sedangkan keinginannya tak pernah disetujui. Bagi Ghea ketika mereka menuntut sesuatu maka sisakan sedikit ruang untuk Ghea bernapas, Ghea menyukai hal-hal yang berbau seni sayangnya kedua orangtuanya sama-sama tak menyetujui hobi tersebut.
"Mama lihat cowok yang tadi mengantarmu, pasti dia kan yang membawa pengaruh buruk ini? Jawab!"
Nada bicara Maya semakin meninggi tapi Ghea benar-benar tak peduli. Malam yang seharusnya ia manfaatkan untuk beristirahat ini malah diganti menjadi ceramah panjang yang Ghea sendiri tak tahu kapan akan selesai.
Dilla Dilla dan Dilla, hanya nama itu saja yang selalu ibunya pedulikan. Tak sekalipun Ghea mendengar ibunya membanggakan prestasi Ghea meskipun piala dan piagam sudah bejibun di lemari kaca belakang ibunya. Mungkin yang Maya pedulikan hanyalah prestasi akademik saja seperti Dilla yang seringkali memenangkan kejuaraan matematika, fisika dan bahasa inggris.
"Pasti dia juga yang membuatmu bolos hari ini, kamu ini sudah besar Ghe belajar dewasa masa iya umur sudah delapan belas tahun tapi pola pikir masih taman kanak-kanak! Malu sama adikmu!"
Dimas yang baru pulang dari kantor bukannya disambut dengan hangat malah mendengar perdebatan yang terjadi di kamar Ghea anak sulungnya.
"Kalian ini meributkan apa, Papa pulang capek-capek butuh istirahat bukannya mendengar suara keras kalian!" marahnya.
"Ini anakmu bolos sekolah padahal tadi siang ujian fisika sampai-sampai Mama ditelpon wali kelas, mama malu karena kelakuan Ghea."
Dimas mengembuskan napas panjang kemudian mendekat. "Mau jadi apa kamu ini? Hah mau jadi apa!" bentak Dimas kepalang lelah.
Rasa lelah akibat bekerja seharian semakin membuatnya mudah emosi.
Dalam hati Ghea menggerutu, "Selalu seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC RELATIONSHIT [END]
Teen FictionWARNING!! PART LENGKAP DAN SIAP-SIAP PATAH HATI! 𝓙𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓰𝓪𝓷𝓽𝓾𝓷𝓰𝓴𝓪𝓷 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹 𝓹𝓪𝓭𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓴𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓲𝓽𝓾 𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓹𝓮𝓻𝓰𝓲. _________ HAPPY KIYOWO_________ Pernahkah kalian dib...