BAB 59 RASA TAKUT

61 18 4
                                    

Satu hari menjelang pengumuman hasil seleksi masuk perguruan tinggi, Ghea sendiri tak berharap banyak dari ujiannya. Ia masih berjuang melalui jalur lain karena tak ingin menggantungkan terlalu besar harapan hanya pada satu perjuangan. Bukankah Ghea adalah seorang pejuang? Seorang pejuang bukanlah dia yang hanya mengharapkan satu tujuan tercapai melalui satu jalan saja, ia akan mencari berbagai jalan alternatif untuk mencapai keinginannya.

Hari ini Ghea berencana mengunjungi makam Daffa, jujur netranya begitu ingin menatap wajah teduh lelaki itu, Ghea masih ingat betul bagaimana wangi yang selalu ia cium ketika bersama Daffa. Semua membawanya pada titik-titik kenangan hingga terakumulasi menjadi sebuah kerinduan.

Beginikah rasanya terlambat mengungkapkan rasa? Seperti mampu mengatakan tapi itu hanya akan menjadi percuma karena kisah itu sudah tertutup paksa.

Ketika kaki menapak tanah pemakaman umum tempat peristirahatan Daffa, saat itu juga hati Ghea berdenyut sakit. Siapa yang berani mengatakan bahwa merelakan itu mudah? Ternyata meski telah Ghea tekadkan dalam dirinya tetap saja ia tak mampu melupa. Lisan bisa berdusta namun hati tak mampu melakukannya.

Langkah mempertipis jarak, Ghea menyentuh nisan dengan ukiran nama yang tak pernah ia tebak akan secepat ini meninggalkannya.

"Gue datang lagi," ujar Ghea meletakkan setangkai mawar.

Jika ada alat pendeteksi kesedihan niscaya perasaan Ghea akan terpampang nyata bahwa ia larut dalam sebuah kesedihan yang sengaja ia bungkus dengan perjuangan dan kerja keras. Ia berharap dengan kesibukan maka ia akan mampu melupakan perasaannya namun sangat disayangkan hal itu tak bisa ia lakukan.

"Besok pengumumannya, Daff. Gue sebenernya takut, lo tahu sendiri gue suka overthinking," kekeh Ghea menertawakan dirinya sendiri.

"Eh kemaren gue ketemu nyokap lo, lo nggak marah kan kalau buku catatan itu dikasih ke gue?"

Beberapa hari yang lalu Riri menemui Ghea memberikan sebuah buku catatan yang hingga kini tak berani Ghea buka. Katanya buku itu ditulis khusus untuk Ghea karena tertulis jelas di halaman pertama dari lembaran buku, meski sangat penasaran Ghea tak ingin memaksakan diri untuk membacanya. Ghea takut ketika ia membaca semua yang tertulis di sana maka ia akan semakin tak mampu menata hatinya.

"Ternyata Daffa yang super cuek bisa sweet juga, thanks ya. Gue akan simpan buku itu sampai gue berani buat bacanya, gapapa kan?"

Ghea menatap lamat-lamat nisan Daffa, meski raga telah memisahkan entah mengapa rasanya jiwa Daffa tak pernah jauh darinya. Ghea merasa Daffa tak sepenuhnya pergi.

"Maaf gue terlambat bilang kalau gue sesayang itu sama lo."

***

Berbeda dengan Ghea, di tempat lain pada waktu yang sama seorang lelaki duduk jauh di sofa menatap ibunya yang terbaring di blankar. Sampai hari ini kondisi Rima belum kunjung pulih meski Handi sendiri sudah turun tangan berusaha mengembalikan semangat hidup Rima. Nampaknya kesedihan yang perempuan itu rasakan takkan mudah disembuhkan bahkan dengan perhatian yang Handi berikan. Namun, Handi sepertinya tak mudah menyerah. Meski penolakan sudah kian kali ia terima tetap tak menyulutkan niatnya untuk memperbaiki semua yang rusak.

Sejak hari itu Handi berjanji takkan ia biarkan Barra merasakan apa yang Trisha rasakan. Selama ini Handi hanya mengejar kebahagiaannya tanpa sadar bahwa anaknya menderita karena itu. Bahkan sampai saat ini Handi tak bisa memaafkan dirinya sendiri karena baginya ia adalah penyebab Trisha mengakhiri hidup tepat di gedung perusahaan miliknya. Sejak saat itu Handi benar-benar dihantui rasa bersalah yang tak tahu kapan akan berakhir atau bahkan takkan berakhir.

"Saya minta maaf," ucap Handi entah sudah berapakali.

Rima tak marah, membentak apalagi mengusir Handi. Hanya saja ia samasekali tak menjawab ucapan Handi seolah tak ada siapapun yang tengah mengajaknya berbicara, tatapan kosong itu membuat Rima tak sadar detik demi detik berlalu begitu saja tanpa sepatah kata. Sepertinya ini cara terburuk untuk menghukum Handi atas perbuatannya selama ini, dalam diam sungguh telah meriuhkan isi kepala Handi.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang