BAB 30 FILOSOFI TEMBOK

238 65 23
                                    

Hanya suara jam dinding ditemani suara alat-alat medis yang melekat di tubuh Daffa sebagai pengisi suara ruangan perawatan dengan seorang lelaki yang tengah terbaring menutup mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hanya suara jam dinding ditemani suara alat-alat medis yang melekat di tubuh Daffa sebagai pengisi suara ruangan perawatan dengan seorang lelaki yang tengah terbaring menutup mata.

Baik Ghea maupun Riri tak ada yang membuka suara, malam ini Daffa sudah tertidur mungkin karena menahan sakit di tubuhnya membuat ia memilih untuk memejamkan mata. Ketika ia terjaga maka sakit itu akan kembali terasa.

Setelah mendengar semua cerita yang Riri ceritakan, mengenai penyakit Daffa, mengenai perjuangan Daffa dan mengenai Daffa yang setelah mengetahui memiliki penyakit parah lebih memilih untuk menjauh dari semua orang. Daffa yang biasa aktif di sekolah berubah menjadi Daffa pendiam bahkan di masa SMA baru Ghea yang ia bawa ke rumah, tentu kedatangan Ghea membuat Riri sangat senang karena ia kira Daffa sudah mulai kembali bersosialisasi ternyata anggapannya salah. Anaknya menyimpan sakitnya sendirian tanpa ada teman yang tahu mengenai sakit itu.

Tanpa sadar setitik air mata mengalir di wajah Ghea, tatapannya tak sedikitpun berpindah. Ingatannya kembali pada waktu tak sengaja bertemu dengan Daffa, jadi ini alasan Daffa berucap demikian kasar sewaktu itu? Daffa ingin membuatnya menjauh, mengapa Ghea begitu tak peka dengan kondisi Daffa padahal ia seringkali melihat Daffa mengeluarkan darah dari hidungnya. Selama ini Ghea terlalu fokus dengan ambisinya untuk mendapatkan universitas ternama demi mempertahankan harga dirinya dengan memaksa Daffa untuk terus mengajarinya.

Perlahan mata Daffa terbuka, pertama yang ia lihat adalah sosok perempuan yang selalu menemaninya kini duduk di sisi kanan blangkar. Telinganya bergerak mendengar ada seseorang yang menangis sesenggukan di sebelah kirinya, Daffa melirik dan berhasil menangkap sosok tersebut. Ghea.

"Lo kok di sini?" lirih Daffa sembari mengangkat tangannya.

Ghea segera mengambil tangan itu kemudian menggenggamnya lalu ia berkata, "Sakitnya jangan dirasain sendiri ya."

Daffa kembali melirik ibunya seolah bertanya dan hanya dijawab anggukan pelan sebagai tanda bahwa ia telah menceritakan semuanya pada Ghea.

"Sorry, Ghe."

Mendengar suara Daffa semakin pelan membuat tangis Ghea semakin pecah dengan lembut ia memeluk tubuh Daffa membiarkan tangisnya basah di baju biru pasien itu. Ia bisa merasakan belaian lembut di kepalanya dari tangan lemah itu.

"Lo harus bertahan, Daff. Demi mama Lo, demi gue."

Jantung Daffa berdegup cepat mendengar suara Ghea yang jelas sangat dekat dengannya, bahkan Daffa bisa mendengar helaan napas Ghea yang menerpa dada bidangnya.

"Jangan kasihani gue, Ghe."

Ghea segera menggeleng tak setuju dengan ucapan Daffa, bukan rasa kasihan yang membuatnya memeluk Daffa demikian erat melainkan perasaan sayang yang tak tahu sudah mencapai tahap cinta atau belum. Jelasnya Ghea tak ingin Daffa pergi.

"Lo bilang lo takut jatuh cinta kan, Daff? Lo gak perlu jatuh cinta, cukup terima rasa sayang gue dan bangkit menuju kesembuhan."

***

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang