BAB 13 MENGAKHIRI

180 93 6
                                    

Semalaman Ghea berusaha menghubungi Barra tapi hasilnya sama saja lelaki itu samasekali tak membalas pesan ataupun mengangkat panggilannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semalaman Ghea berusaha menghubungi Barra tapi hasilnya sama saja lelaki itu samasekali tak membalas pesan ataupun mengangkat panggilannya.

Terbesit rasa khawatir dalam hatinya, ia tak tenang bagaimana jika terjadi sesuatu pada Barra karena tak bisa menahan amarahnya. Ghea takut karena kejadian tadi membuat Barra benar-benar dalam keadaan tak baik-baik saja.

Ghea tak ingin menyalahkan Barra atas kejadian tadi, semua ini berawal dari dirinya yang tak memberi kabar. Jika saja kabar sudah Barra genggam mungkin kepalan tangan itu tak akan sampai melayang ke wajah Daffa. Ghea mungkin kesal karena Barra tak bisa menahan diri tapi di sisi lain ia juga merasa bersalah apalagi ketika melihat Barra sangat kecewa sewaktu ia meminta pergi.

"Lo kemana sih Barr?" cemas Ghea menyingkap gorden yang menghadap ke taman di belakang rumahnya.

Ghea bisa melihat langit turut mendung ingin menyamakan dengan suasana hatinya yang muram. Pekat di atas sana membuat Ghea semakin gelisah, bagaimana jika Barra belum juga pulang saat ini? Apakah lelaki itu akan membiarkan raganya basah begitu saja atau akan memilih berteduh? Ghea memang bodoh tak seharusnya ia mengusir Barra seperti yang ia lakukan tadi, Ghea harusnya sadar ia berada di posisi yang salah dan seharusnya meminta maaf kemudian menjelaskan kejadian sebenarnya pada Barra bukannya malah ikut terbakar bersama emosi Barra yang membara.

Ghea menggigit kukunya menetralkan rasa cemas, membohongi otaknya untuk merasakan sakit di jarinya agar tak terlalu menekan memikirkan Barra. Sayang, usahanya gagal. Pikirannya tetap terkunci pada lelaki itu, seperti memang ada magnet kuat yang menarik Ghea untuk memikirkannya.

Sejenak Ghea berpikir untuk mencari cara agar tak tenggelam dalam rasa cemas berlebih seperti sekarang, ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kamarnya kemudian menemukan satu titik yang bisa mengalihkan perhatiannya. Materi sekolah.

"Gue nggak akan tidur sampai lo ngubungin gue, Barr."

***

Titik air mulai jatuh dari awan hitam di langit malam ini, lelaki berjaket kulit itu mengatur napas yang memburu. Hatinya masih terbakar belum juga usai, matanya yang memerah membuat semakin mengerikan. Bukan hanya cinta namun ia dipatahkan keluarga dan orang yang ia sayang dalam satu waktu yang hampir bertepatan.

Bodoh sekali di dunia yang luas ini ia masih terkunci pada pikiran primitifnya yang menganggap cinta akan memberikan kebahagiaan. Bodoh sekali Barra mempercayai hal tersebut, lelaki yang tahu sakitnya patah hati namun dengan bodohnya malah terjun berharap mendapatkan kebahagiaan di sana.

Barra tahu bagaimana cinta itu berlaku tak adil, bagaimana seseorang yang memberikan cinta tulus hanya akan mendapat pengkhianatan dan bagaimana rasa sayang hanya dibalas dengan hinaan. Tapi, bodohnya Barra tak bisa untuk tak jatuh cinta meski ia sadar apa risikonya. Patah hati adalah garis akhir dari semua omong kosong ini.

Lelaki itu tak peduli tangannya yang lecet atau sudah mulai mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Barra sama sekali tak peduli apakah tubuhnya akan merasakan sakit akibat ulah bodohnya, ia samasekali tak peduli.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang