BAB 44 PERISTIRAHATAN TERAKHIR

176 33 8
                                    

Kecewa, marah dan tak kuasa menahan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kecewa, marah dan tak kuasa menahan diri. Tiga hal yang tak bisa Barra kendalikan ketika retinanya menangkap adegan menjijikan tepat di hadapannya, mungkin orang-orang akan berpikir Barra egois karena telah menghancurkan khidmat prosesi pemakaman Trisha. Namun, apa ada yang bisa menjamin ketika kalian berada di posisi yang sama kalian tak akan melakukan hal yang Barra lakukan?

Seorang ayah yang tak malu untuk menggandeng selingkuhannya di khalayak publik apakah pantas mendapat rasa hormat dari putranya? Barangkali akan banyak yang berpihak pada Barra, seorang anak tengah terluka belum lagi ia terbayang akan ibunya yang tengah terbaring lemah di rumah sakit. Semua sangat menghancurkan hati Barra, ia benci dilahirkan sebagai anak dari seorang lelaki seperti Handi.

Berusaha mati-matian meredam emosi ketika tengah berada di puncaknya bukanlah hal yang mudah. Barra bukan malaikat yang bisa memaafkan begitu mudah, ia tak bisa seperti orang-orang di dalam film yang hanya bisa berserah dan pasrah ketika ditindas. Ia beringas, ia marah, ia kesal bahkan jika ada kesempatan mungkin ia tak akan segan menghancurkan balik dua orang yang telah menghancurkan hidupnya begitu tega.

Perlahan ia mengatur irama pernapasannya yang begitu cepat seiring dengan debar menggila di dadanya. Menatap ruang putih dengan seorang wanita terbaring di sana tentu membuatnya memaksa untuk terlihat tenang.

"Barra, kamu dari mana?" tanya Rima serak.

Lingkaran hitam yang mengelilingi kelopak matanya membuat manik indah itu terlihat sayu dan cekung. Di ruang dingin ini Rima seringkali mengamuk, berteriak bahkan menangis. Ia menangisi kebodohannya karena telah berani mencintai lelaki yang sejak awal ia tahu tak memiliki cinta terhadapnya dan dengan bodohnya Rima malah menerima tawaran untuk hidup bersama lelaki itu. Barangkali kata menyesal sudah sangat terlambat untuk saat ini, barangkali kata sakit itu tak akan ia rasakan jika dulu ia tak memiliki ambisi besar untuk mencintai.

Cinta adalah cara terbodoh untuk menjadi manusia paling menyedihkan dan Rima sudah membuktikannya. Rima tak seberuntung kisah romansa yang berakhir indah, ia terlalu menyedihkan untuk menjadi tokoh antagonis dan akan ditertawakan jika mendapat peran protagonis.

"Dari pemakaman teman Barra, Ma."

"Apa papamu tak ingin menjenguk mama?" tanya Rima penuh harap.

"Ma! Seharusnya Mama sadar papa itu cuma bisanya nyakitin, apa yang mama harapkan dari bajingan seperti dia?" heran Barra menaikkan intonasi suaranya.

Ia kesal karena setiap kali ibunya bertanya maka yang terputar di kepala Barra hanya rekaman-rekaman pilu yang membuatnya sadar bahwa keluarganya terlalu berantakan untuk diharap menjadi utuh.

"Jaga omonganmu!" bentak Rima tak kalah keras.

Tatapan yang semula teduh berubah menjadi marah, Rima mengambil gelas berisi air putih di nakas dan melemparnya hingga berkeping-keping kemudian mulai menarik rambutnya dengan kencang.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang