BAB 53 RELA

75 14 0
                                    

Malam berganti pagi, wanita bermata lelah itu mencoba menerima cahaya dari lampu yang menyilaukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam berganti pagi, wanita bermata lelah itu mencoba menerima cahaya dari lampu yang menyilaukan. Matanya cukup bengkak menangis semalaman, anak kesayangannya belum kunjung sadar. Ia terlalu nyaman dalam lelap padahal dalam cahaya ada wanita bertubuh tua yang menantinya.

Riri mengusap wajahnya untuk mengembalikan kesadaran, kembali ia lirik lelaki tampan yang terbaring di blankar. Masih sama, terlelap tak berubah sedikitpun posisinya.

Perlahan Riri berjalan menuju kamar kecil untuk membasuh wajahnya dan berwudhu. Suara azan yang berkumandang di sekitar rumah sakit membangunkan Riri mengingatkannya pada Tuhan pemilik kuasa, ia ingin menghamba dan memohon kepada ilahi agar memberi kesembuhan pada buah hati.

Membasuh tangan sampai kaki kemudian mengangkat kedua tangan menengadah berharap keajaiban tiba.

Barangkali Riri sadar bahwa sudah tak ada harapan yang berani ia gantungkan tapi ia berusaha membuang semua pikiran buruk mengganti dengan seribu keajaiban yang ia susun dalam pikirannya.

Pagi ini bersama fajar menyingsing hari, Riri memohon pada pencipta untuk diberikan satu keajaiban kepada putranya. Ia tak pernah lelah berdoa, karena satu-satunya yang bisa Riri lakukan hanyalah berdoa.

"Ya Allah, barangkali hamba terlalu lancang meminta setiap saat padamu, barangkali hamba terlalu hina untuk mengharap keajaiban itu nyata, tapi ya Allah hamba yakin engkau sebaik-baiknya tempat meminta. Berikanlah kesehatan dan kesembuhan kepada anak hamba, hanya kepadamu hamba memohon berikanlah karuniamu kepada anak hamba," lirih Riri tak terasa berlinang juga air matanya.

Riri tak pernah mengatakan bahwa ia lelah meminta, ia sendiri sudah memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi dan harus ia hadapi. Mungkin bersama akan membuatnya bahagia tapi Riri juga sadar dengan menahan Daffa seperti ini akan membuat anaknya menderita.

Setelah selesai solat subuh, Riri kembali duduk menatap lamat-lamat wajah yang sampai detik ini masih pulas.

Seketika bayangan masa yang telah berlalu memaksa Riri mengenang-ngenang masa paling bahagia ketika pertamakali memeluk tubuh mungil anaknya yang ketika itu menangis. Riri tak pernah lupa bagaimana proses yang telah Daffa lewati, mulai dari kelahiran sampai berada di detik ini.

Langit gelap kini berganti terang, Riri membuka gorden membiarkan cahaya mentari memeluk ruang rawat Daffa.

"Matahari pagi itu baik loh buat kesehatan," ujar Riri melirik Daffa seolah tengah berbincang dengan sosok terbaring itu.

"Mas, biasanya suka tuh berdiri lama di depan jendela ngeliatin embun-embun yang masih hinggap di dedaunan, Mas nggak mau bagun?" sambungnya berjalan mendekati blankar.

Entah sudah hari ke berapa Riri berbincang dengan diam sebagai balasan, ia tak bosan ataupun berhenti melakukan rutinitasnya. Berharap di suatu pagi perbincangan hangat itu kembali mengisi kebahagiaan, Riri tak ingin terpuruk dalam luka ia sangat berharap mampu selalu kuat meski kenyataan tak sesuai harapan.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang