BAB 54 TENANGLAH BERSAMA SEMESTA

64 15 0
                                    

Bolehkan Ghea berharap bahwa skenario yang tengah berputar di kepalanya hanyalah semu? Bisakah Ghea sedikit berpikir positif mengenai keadaan? Mungkin saja Daffa sudah sadar dan dibawa pulang atau bisa jadi Riri ingin meminta bantuan Ghea sehingga...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bolehkan Ghea berharap bahwa skenario yang tengah berputar di kepalanya hanyalah semu? Bisakah Ghea sedikit berpikir positif mengenai keadaan? Mungkin saja Daffa sudah sadar dan dibawa pulang atau bisa jadi Riri ingin meminta bantuan Ghea sehingga meminta ke rumah. Bukankah semua kemungkinan bisa saja terjadi?

Namun, sepertinya Ghea tak bisa membohongi pikirannya. Sesuatu yang tertancap di samping gerbang, sebuah kain berwarna kuning dengan orang-orang yang berjalan masuk berpakaian serba hitam membuat Ghea tak mampu berkata-kata. Apakah ia sedang bermimpi? Ghea menggeleng, ia berusaha menyadarkan diri dari mimpi buruk ini. Sayang, sepertinya yang ia lihat bukanlah mimpi.

Tiba-tiba jantung Ghea berdegup cepat, kerongkongannya kering bahkan tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Hanya langkah lemah yang kini membawanya masuk semakin dalam melewati kain kuning di gerbang, setibanya di depan pintu Ghea merasa tak mampu menguasai diri. Tubuhnya mematung dengan tatapan membulat pada sebuah kasur yang di atasnya sebuah kain terbentang menutupi tubuh seseorang.

Ghea lemas. Saking lemasnya ia langsung terduduk membuat orang-orang yang tengah membaca Yasin di dalam rumah langsung menatapnya tak terkecuali wanita dengan jilbab panjang serba hitam yang duduk sembari memegang musafnya, Riri.

"Ghea," ucap Riri langsung berdiri mendekati tubuh yang terduduk lemah itu.

Napas Ghea memburu membuat dadanya naik turun tak karuan, ia kesulitan mengatur irama pernapasannya. Suara-suara kini lenyap sudah, pikiran Ghea kosong tatapannya pun sama kosongnya sampai tiba-tiba ia terisak. Tak ada niat untuk menepis bulir-bulir basah di wajahnya, Ghea sudah tak peduli dengan kondisinya yang masih mengenakan seragam hitam putih kini yang ia pedulikan adalah bagaimana cara ia menyadarkan dirinya karena sekarang Ghea yakin seratus persen bahwa ini adalah mimpi.

"Tante, bilang sama Ghea kalau yang terbaring itu bukan Daffa. Kasitau Ghea Tante," ujar Ghea menggeleng menunjuk pada jasad yang tertutup.

Riri tak mampu berkata-kata, ia rengkuh tubuh lemah itu membiarkan Ghea menangis sejadi-jadinya. Riri samasekali tak berniat untuk menghentikannya, Ghea memang tak setegar Riri dalam menghadapi kenyataan pahit ini. Barangkali Riri harus menjadi kuat agar mampu menguatkan orang yang lebih lemah seperti gadis remaja yang kini tengah ia rengkuh.

"Kasitahu Ghea, Tante!" isaknya pilu.

"Tenang ya," ucap Riri pelan-pelan menghapus air mata di wajah Ghea. "Apapun yang terjadi ini semua merupakan ketetapan Allah yang harus kita terima," sambungnya.

Ghea kembali menggeleng, ucapan Riri tak memberinya sedikitpun ketenangan. Dengan memaksakan diri Ghea berusaha menguasai diri, berdiri dan mendekat pada sosok tersebut.

Jantungnya semakin berdetak tak karuan, tangan Ghea yang hendak menyibak kain terlihat bergetar dipenuhi keringat. Ia mengurungkan niatnya membuka kain dan mengganti niat tersebut dengan sebuah isak, ia tak sanggup ia benar-benar tak sanggup melihat seseorang yang selalu memberi semangat, membuat Ghea belajar dengan giat, membuat Ghea tertawa, bahkan membuatnya jatuh cinta. Ghea benar-benar tak mampu.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang