BAB 51 TANGGA KETIGA

79 16 2
                                    

Sudah seminggu berlalu Daffa dipindahkan ke ruang ICU untuk mendapat penanganan khusus karena kondisi yang semakin memburuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah seminggu berlalu Daffa dipindahkan ke ruang ICU untuk mendapat penanganan khusus karena kondisi yang semakin memburuk.

Riri sudah pasrah bahkan ia mencoba ikhlas, jika seperti ini terus bukankah Daffa yang menderita kesakitan? Seharusnya Riri membiarkan Daffa tenang dengan melepas sakitnya meski hal itu sangatlah berat.

Riri memandang wajah anaknya lamat-lamat, bibir yang kian pucat, tubuh yang semakin kurus dan raga yang semakin rapuh itu telah berjuang keras. Perlahan ia genggam tangan dingin yang tertancap infus sebagai nutrisinya.

"Daffa pasti capek kan?" tanya Riri serak.

Apakah ia sanggup melepas Daffa? Pertanyaan itu tak henti menggema di kepalanya, jika dijawab sebagai perempuan yang telah ditinggal suaminya tentu Riri tak sanggup tapi jika ia menjawab sebagai seorang ibu yang tak ingin anaknya merasakan penderitaan lebih lama maka ia akan berusaha meski sakit.

"Daffa istirahat ya, mama tungguin Daffa di sini. Tapi, kalau Daffa bener-bener capek maka Mama akan berusaha ikhlas demi kesembuhan Daffa," lirihnya tanpa sadar air mata membasahi wajah.

***

Barangkali setiap siswa akan merasakan perasaan yang sama di hari kelulusan, bahagia dan haru menyatu dalam satu kata. LULUS.

Hari paling mendebarkan itu sudah tiba, setiap siswa duduk menanti pengumuman yang diberikan sampai tiba waktunya untuk melihat papan pengumuman.

Ada yang terduduk lemas sebelum melihat hasil perjuangannya, hati begitu lara karena sahabat yang pergi beberapa waktu yang lalu bahkan ia juga merasa sedih mengingat lelaki yang terbaring lemas di ruang ICU.

Tiba-tiba saja bulir yang tertahan di mata indahnya tumpah, perempuan yang duduk diam di samping Ghea langsung memeluk tubuh itu untuk saling menguatkan. Ternyata sangat menyakitkan ketika memori perjalanan terputar berulang di kepala menampilkan bagaimana mereka berkenalan, keseruan apa saja yang telah dilewatkan dan memori terakhir di tanah merah yang saat ini masih basah.

Olivia bungkam, ia tak memiliki kata-kata terbaik yang bisa ia keluarkan.

"Trisha pasti sudah tenang di sana," ujar Ghea mendongak menatap plafon kelas yang berwarna putih itu.

Olivia semakin menangis, mendengar nama itu membuat hatinya teriris teringat dua kejadian dimana ia telah menghilangkan satu nyawa dan bagaimana ia menolak Trisha malam itu sampai membuatnya menyesal seumur hidup.

Perlahan satu demi satu siswi kelas USA ikut memeluk mereka menghasilkan haru di hari kelulusan ini ditambah barisan siswa yang saling merangkul turut merasakan duka mendalam karena sebuah kepergian.

***

Papan pengumuman sudah terutup gerombolan kelas dua belas yang tak sabar melihat ranking hasil ujian tahun ini namun berbeda dengan kelas USA yang memilih memandang papan dari kejauhan. Ada sakit yang mereka rasakan, bagaimana tidak bagian dari mereka tak lengkap.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang