EPILOG

120 14 0
                                    

Kebahagiaan kadarnya tak hanya diukur dari seberapa lebar senyum ketika mendapat keberuntungan melainkan seberapa ikhlas kita menerima garis kehidupan yang telah Tuhan tetapkan.

Barangkali kita memiliki rencana akan hidup tapi bukankah pemilik semesta berhak untuk memberikan yang terbaik meski berseberangan dengan rencana kita?

Ketetapan Tuhan tak pernah salah memilih jalan untuk manusia, meski terkadang kita lupa dan berdusta tetaplah pilihan Tuhan menjanjikan kehidupan terbaik untuk kita.

Ada yang memilih ketetapan lain di tengah perjalanan kehidupan, memilih menyerah tanpa berusaha mengejar hadiah terindah yang telah disiapkan untuknya. Ada juga yang pasrah tanpa berjuang sampai akhirnya hadiah indah itu gagal ia dapatkan, sementara ada yang tertatih membiarkan dirinya penuh luka-luka karena di dalam hatinya telah tertanam sebuah keyakinan bahwa Tuhan itu baik. Tuhan itu adil dan Tuhan lebih tahu apa yang kita butuhkan.

Meski tak selamanya jalan yang sama akan mengantarkan pada kebahagiaan tetap saja epilog terbaik telah menanti insan-insan kuat yang berjuang menuju puncak kebahagiaan.

Hari ini langit tersenyum pada seorang gadis yang berani menentukan dan memutuskan jalan terbaik untuk hidupnya. Berani lepas dari hubungan tak sehat adalah batu loncatan untuk menuju kehidupan lebih baik.

Dengan sekuntum mawar putih Ghea beranikan diri menatap lekat pada nisan hitam bertuliskan nama yang masih begitu basah di ingatannya. Daffa Ravindra. Lelaki yang berhasil membuat Ghea sadar bahwa terlambat menyadari rasa adalah hal terburuk namun juga memberikan pelajaran berharga. Mengapa ia katakan demikian? Karena sesungguhnya tak ada kata terlambat untuk sebuah cinta. Barangkali ia menyadari rasa lebih akhir namun hal itu memberinya pengalaman bahwa jika kita sendiri tak berusaha mengejar apa yang membuat kita bahagia bisa jadi kebahagiaan itu yang akan lari dari kita.

Setelah sebelumnya mengunjungi pusara milik gadis bermata sayu, Trisha Yuvaarani kini Ghea mengusap pelan nisan Daffa seolah tengah membelai rambut lelaki itu dengan halus.

"Hari ini tepat satu tahun, rasanya baru kemarin lo pergi Daff."

Ghea meletakkan sekuntum mawar putih dengan semerbak harum memenuhi rongga pernapasan.

"Sampai hari ini gue belum berani buka catatan itu, Daff. Lo nggak marah kan?" tanya Ghea mengusap titik basah di ujung matanya.

Ia hempaskan udara yang menghasilkan sesak di rongga pernapasan, seperti ada benda besar yang menahan untuk bernapas lega. Melalui ukiran aksara yang ia rasakan setiap lekuknya, Ghea berharap kerinduan sedikit berkurang.

Setahun berlalu ternyata belum mampu membuat Daffa lekas pergi dari pikiran Ghea, mimpi itu selalu membuat Ghea terbangun dini hari bahkan tak jarang air mata menjadi satu-satunya penenang luka.

Kehilangan mengajarkan kita betapa berharga setiap keberadaan orang-orang di sekitar, kita terkadang mengabaikan peran yang seharusnya kita peluk erat bak penenang. Ketika hilang barulah sibuk mencari sementara semesta tertawa begitu pasti. Kehidupan monokrom yang kita kira terlalu sepi ternyata hilang warna karena diri kita sendiri.

Sementara di ujung sana berdiri tegak lelaki berpakaian rapih dengan kemeja yang sengaja ia lipat hingga siku. Entah hancur mana yang seharusnya ia jelaskan, entah luka mana yang semestinya lebih dahulu ia obati dan entah rasa mana yang seharusnya ia syukuri.

Kehidupan terlalu netral untuk kata bahagia yang sempurna dan terlalu tak masuk akal untuk dipenuhi duka, hidup ini berjalan begitu dinamis melalui titik sulit membawa pada akhir yang menuntun kita agar mengakrabkan diri dengan kata menerima.

Dia adalah lelaki yang sama, lelaki yang merindukan sosok gadis yang kini membelai aksara pada pusara. Barra. Ia tak menyangka bahwa hari ini sudah ia lewati satu tahun tanpa Ghea, sudah ia relakan kisah-kisah lama berakhir meski dalam hati tak mampu menolak lupa.

Trisha pergi dengan jalannya karena terlalu lelah sementara Daffa berjuang keras untuk memberikan hadiah terindah sebelum benar-benar pergi, setiap orang berhak memilih bagaimana ia harus pergi namun setiap yang ditinggalkan tak bisa memaksa mereka untuk mengikuti jalan pikiran yang tak pernah merasakan berada di posisi sulit untuk meninggalkan.

Barangkali ada masalah yang usai dan mendapat titik membahagiakan namun tak jarang ada beberapa bagian yang tak mampu rampung bukan karena pemilik kisah tak ingin menyelesaikan melainkan memang seperti itulah jalannya. Bukankah tidak semua akhir harus berakhir? Ada beberapa akhir yang tak benar-benar berakhir karena masih harus melalui berbagai proses menuju titik yang bernamakan usai.

Sebelum berbalik lelaki itu berbisik, "Terimakasih karena telah mewarnai bagian dari kehidupan yang kukira akan berakhir tanpa warna, jika memang kita tidak ditakdirkan bersatu dalam sebuah epilog setidaknya kita sempat mengukir prolog indah bersama dan menikmati setiap detik meski akhirnya kita tetap harus berpisah."

Langkah mungkin salah menentukan arah namun semesta akan senantiasa menunjukkan jalan sebenarnya pada sang penapak kepastian, barangkali belukar itu membuat kita hampir menyerah namun apakah kita akan membiarkan diri terjebak sebagai seorang pecundang atau berjuang dengan bayang kematian di depan mata karena yakin kemenangan adalah bagian terbaik yang akan kita temui setelah sengsara.

Entah mengapa Ghea merasakan ada seseorang yang begitu dekat, sangat dekat. Apakah itu Daffa yang kini menatapnya meski Ghea tak mampu menatap balik? Atau hanya perasaan semu berbalut rindu yang tak kunjung temu?

Setahun ini Ghea kehilangan kabar dari seseorang yang dulu menetap bagaikan kertas dan perangko padanya, ia kehilangan sosok posesif yang selalu membuat Ghea terkekang padahal ketika sudah tak ada barulah Ghea menyadari ternyata sepi itu benar-benar ada.

Tak samasekali Ghea temukan kabar dari sosok Barra, tidak dari rekan satu tim basketnya tidak juga dari alumni SMA Bina Bangsa lainnya. Barra menghilang bak ditelan bumi, lelaki itu menepati janjinya untuk pergi tapi mengapa kini Ghea yang mencari?

"Daff, kasitau gue harus apa? Jujur semua terlalu membingungkan buat gue."

Setelah terduduk lama berbincang segala hal pada Daffa, Ghea akhirnya memilih pergi. Pada langit sore yang menguning, Ghea titipkan Daffa untuk dibahagiakan.

"Barangkali di depan sana Tuhan memiliki rencana besar untuk dilalui, barangkali aku akan lelah atau hampir menyerah. Tapi, Tuhan. Aku tahu kau telah mengatur semuanya dengan sempurna, barangkali kehilangan akan menemukan pertemuan terbaik yang tak pernah dibayangkan. Tuhan, aku yakin di depan sana pelangi telah menanti."

Pada akhirnya baik Ghea maupun Barra, keduanya akan berjalan menuju peraduan melalui jalan yang berbeda. Pernah bersama bukan berarti harus selamanya bersama kan?

Ada banyak kisah yang kita pertanyakan akhirnya, ada banyak kebingungan yang akan kita temui sebelum takdir memeluk luka, ada banyak hal yang tak kita pahami namun harus kita lewati. Bukankah menjadi dewasa itu cukup rumit? Sayang, detik jam di dinding tak pernah mampu berputar balik hingga mau tak mau kita harus siap menjadi dewasa mesti belum waktunya.

Mungkin tidak disatukan dalam sebuah takdir tapi setidaknya mereka pernah disatukan pada halaman yang sama meski pada akhirnya akan memilih jalan berbeda.

Hidup itu dinamis, kita tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di depan sana, kita juga tak bisa menolak takdir mana yang telah menunggu. Semesta itu mendewasakan, percayalah Tuhan tak akan salah memilih pundak mana yang harus diberi keistimewaan.

Berbahagialah karena bahagia tak akan mengejar kita, berbahagialah dengan apa yang kita punya karena semua akan membahagiakan ketika kita mampu bersyukur.

------___THE END ___------

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang