Ternyata mau sejauh apapun Ghea berlari pelarian itu tetap akan berakhir pada satu titik, titik dimana ia mulai berlari dan titik itu juga yang membuatnya terkadang ingin pergi. Titik dimana Barra menunggu dengan tangan terbuka sembari tersenyum.
Hari ini lagi-lagi Ghea kembali, ia tahu mengulang kisah ini akan berakhir sama tapi entah dengan bodohnya ia tak bisa menolak untuk kembali bersama seperti memang sudah ada buku pedoman yang membawanya lagi dan lagi kembali pada Barra.
Ghea memandang jendela kamarnya, mungkin masih terlalu sore membuatnya merasa aneh dengan kamar ini biasanya Ghea selalu pulang telat karena lama berada di rumah sakit namun hari ini tak ia lakukan.
Ghea tahu dan sangat sadar sepulang dari rumah sakit ia pasti akan mendapat ceramah panjang namun ia seringkali mengingkari itu membiarkan dirinya pulang larut sampai Maya berteriak kesal akan ulahnya. Bagi Ghea melakukan pelanggaran adalah hobinya, seperti ketika ia melakukan hal itu membuatnya sedikit lebih bahagia. Anggaplah Ghea tak waras namun memang seperti itu kenyataannya.
Setelah menerima kembali Barra sebagai bagian dari kisah pemanis masa sekolahnya, Ghea pulang tanpa menyadari ada hati yang terlanjur sakit namun hanya memberikan senyum sebagai pembungkusnya. Dialah Daffa, lelaki yang melihat jelas bagaimana tatapan Ghea beradu pada manik mata Barra dan bagaimana manisnya Ghea mengangguk menerima kembali perasaan yang sempat ia usir jauh.
Saat ini Daffa menarik napas dalam-dalam, entah mengapa dadanya terasa sangat sesak. Ia tak tahu apakah ini pengaruh penyakit yang ia derita atau karena hati yang terlanjur patah.
Perlahan Daffa memejamkan mata berharap ketika bertemu gelap pikirannya sedikit lebih tenang sayangnya ternyata sama saja, mau gelap atau terang jika pikiran tengah kacau maka tak akan ada bedanya.
"Kalau lo bahagia kenapa gue harus kepikiran? Gue harus bahagia juga kan?" bisik Daffa pada dirinya sendiri.
"Mas belum tidur?" tanya Riri menutup kembali pintu.
Malam ini tak ada ubahnya dengan malam-malam yang telah berlalu, sofa di dekat blangkar itu akan menjadi tempat beristirahat bagi Riri sembari menemani putra semata wayangnya.
Daffa melirik ke arah ibunya, wanita cantik yang tampak lebih kurus karena harus menemaninya begadang setiap malam menjadi orang pertama yang tak akan melepas pengawasannya terhadap Daffa.
Riri mendekat kemudian memotong buah-buahan di atas nakas lalu berkata, "Mas mau buah?"
Kali ini Daffa mengangguk, ia tak lapar hanya saja ia ingin melihat wajah ibunya sedikit lebih lama malam ini. Entah perasaan yang tak tenang membuat Daffa jadi berpikiran jauh, seakan takut wajah ini tak akan ia lihat lagi setelah ini.
"Nanti kalau sudah saatnya, Mas mau di dekat Papa saja Ma."
Ucapan Daffa membuat pergerakan tangan Riri otomatis terhenti, kepala wanita itu tertunduk tanpa sadar air mata mengalir perlahan dari sudut matanya dengan tergesa ia hapus.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC RELATIONSHIT [END]
Teen FictionWARNING!! PART LENGKAP DAN SIAP-SIAP PATAH HATI! 𝓙𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓰𝓪𝓷𝓽𝓾𝓷𝓰𝓴𝓪𝓷 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹 𝓹𝓪𝓭𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓴𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓲𝓽𝓾 𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓹𝓮𝓻𝓰𝓲. _________ HAPPY KIYOWO_________ Pernahkah kalian dib...