Terkadang tak apa kita marah pada keadaan namun jangan sampai kemarahan kita membuat mata tertutup untuk menemukan fakta. Hal yang kita kira menyakiti barangkali adalah hal yang seharusnya kita syukuri.
Semua penjelasan yang diucap menyadarkan Dilla bahwa kemarahannya ternyata salah, bahkan dapat dikatakan benar-benar salah.
Memang Maya tak sepenuhnya benar namun ketika Dilla tahu alasan sebenarnya ia mampu belajar memahami mengapa ia selalu ditekan menjadi anak yang pintar dan sempurna di semua bidang.
Dari masalah ini Dilla belajar di kehidupan ini tak ada yang benar-benar hitam atau benar-benar putih, ada juga warna lain seperti abu-abu dengan segala kemisteriusannya. Tebakan boleh benar tapi apa ada yang bisa menjamin ia tak akan pernah salah? Dilla mengira ia ditekan hanya karena gengsi ibunya tapi ternyata ada sesuatu yang lebih besar sedang ibunya pertaruhkan di pundak anak-anaknya yakni harga diri.
"Sebelum gue tahu semua ini, gue juga marah, kesel bahkan menganggap Mama nggak adil. Tapi, semakin jauh gue telusuri ternyata sikap Mama didorong oleh rasa sayang yang tak ingin membuat kita dipandang rendah apalagi oleh keluarga papa. Lo boleh nggak percaya sama gue tapi lo jangan pernah berpikir buat ngerusak masa depan lo dengan ngikutin jejak gue di masa SMA. Kita memang nggak selalu akur, bahkan bisa dikatakan tak pernah akur tapi untuk masalah satu ini gue bener-bener mohon lo turutin Mama ya, minta maaf nggak akan buat lo jadi lemah justru kalau lo ngebangkang dan lari dari masalah itu yang bisa dikatakan pengecut sesungguhnya."
Setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut Ghea hendak bangkit, bukan keinginannya untuk menggurui atau bahkan memaksa Dilla untuk menjadi sosok penurut tapi jauh dalam hatinya berharap besar bahwa adiknya itu akan mampu membungkam mulut orang-orang tak berperasaan yang selalu merendahkan ibunya.
Belum sempat Ghea melangkah pergi, tangannya digapai yang langsung membuat langkah terhenti. Perlahan Ghea berbalik menatap wanita yang kini sejajar dengannya, tatapan yang tadinya dipenuhi amarah kini redam oleh warna pelangi dari pancarannya.
"Makasih kak."
***
Sebenarnya kita semua selalu memiliki alasan mengapa melakukan atau tidak melakukan sesuatu, setiap orang dengan berbagai pertimbangan dan berbeda persepsi itulah yang menghasilkan harmonisasi kehidupan.
Sadar tak sadar selama menjalankan detik demi detik yang berjalan, kita selalu hanyut dalam ritme kehidupan yang kadang tak selaras. Namun, perbedaan bukanlah tolak ukur dalam menentukan apakah yang berbeda itu salah atau benar karena sejatinya kehidupan ini terlalu netral untuk berpihak pada satu sisi.
Yang tak terlihat bukan berarti tak ada.
Dilla berusaha mengumpulkan keberaniannya, melihat punggung Maya yang tengah sibuk mengiris kentang hingga menghasilkan bunyi selaras bak sebuah irama ketukan malah membuat Dilla terdiam seolah kaku tak mampu melangkah lebih jauh.
Setelah merenungi semua untaian kata yang terbentuk menjadi sebuah dorongan berisik di kepala akhirnya Dilla memutuskan untuk menemui Maya.
Tarikan napas panjang menjadi salah-satu penguat dorongan untuknya melangkah semakin dekat, satu langkah dua langkah sampai ia berdiri sempurna tepat di belakang Maya.
Ketukan yang tadi terdengar kini telah berhenti kemudian berganti hening sebelum sebuah suara kecil terdengar membuang napas berat. Suara itu berasal dari wanita yang sebelumnya menghasilkan bunyi ketukan, setelah itu tak lagi Dilla mendengar apapun. Namun, ternyata dalam hening tersebut ada bulir-bulir yang mengalir dari manik lelah dengan segala kebisingan di kepala.
Tepat ketika tubuh itu berbalik ia tersentak melihat Dilla telah berdiri sejajar dengannya. Tentu saja ia terkejut kemudian langsung menghempas basah di wajah dengan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC RELATIONSHIT [END]
Teen FictionWARNING!! PART LENGKAP DAN SIAP-SIAP PATAH HATI! 𝓙𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓰𝓪𝓷𝓽𝓾𝓷𝓰𝓴𝓪𝓷 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹 𝓹𝓪𝓭𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓴𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓲𝓽𝓾 𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓹𝓮𝓻𝓰𝓲. _________ HAPPY KIYOWO_________ Pernahkah kalian dib...