BAB 19 MATA PANDA

113 76 5
                                    

Ada yang terluka kemudian memilih memendam sendiri bukan karena tak memiliki tempat berbagi melainkan terlalu takut untuk kecewa lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang terluka kemudian memilih memendam sendiri bukan karena tak memiliki tempat berbagi melainkan terlalu takut untuk kecewa lagi.

Untuk saat ini Ghea tak sadar ternyata dirinya sangat-sangat toxic pada Trisha. Setiap hari mengeluh ini dan itu tapi ia samasekali tak bertanya bagaimana perasaan Trisha, apakah temannya itu sedang dalam keadaan baik atau apakah Trisha membutuhkan tempat untuk bercerita. Selama ini Ghea terlalu fokus pada masalahnya sendiri tanpa sadar hal itu sudah menyakiti perasaan Trisha.

Seharian ini Trisha mendiami Ghea, setiap kali Ghea berusaha untuk mengajaknya berbicara pasti saat itu juga Trisha akan meninggalkan Ghea.

"Sha jangan diemin gue donk," mohon Ghea duduk di tempat yang seharusnya diduduki Olivia.

Trisha tak menggubris ucapan Ghea, perempuan itu menyibukkan diri dengan ponsel sembari menunggu guru yang akan masuk di jam terakhir ini.

Selain pusing dengan sikap Trisha, Ghea juga kebingungan kemana hilangnya Daffa. Tas yang kemarin lelaki itu tinggal di kelas hari ini sudah lenyap entah kemana, kapan lelaki itu mengambilnya. Ketika Ghea bertanya kepada guru-guru yang masuk ternyata tak satupun dari mereka yang mengetahui kemana hilangnya Daffa bahkan lelaki itu tak memberikan surat izin karena tak masuk sekolah.

"Masih marah ya?" tanya Ghea.

Ghea menarik lengan baju Trisha sampai akhirnya Trisha menoleh padanya, Ghea memberikan senyum paling manis disertai tangan ditangkupkan penuh penyesalan.

"Sorry," sambungnya.

"Jangan ganggu gue," tukas Trisha memalingkan muka.

Jika kalian kira Ghea akan langsung menyerah, tentu saja jawabannya tidak. Perempuan itu kembali menarik Trisha untuk menatapnya kemudian tersenyum.

"Shaa," panggilnya.

"Muka lo nggak cocok marah-marah."

***

Tatapan Ghea tertuju pada gerbang tinggi berwarna cokelat sebuah rumah yang sepi ini. Sudah menekan bel beberapa kali tapi belum juga ada yang membukakan pintu untuknya, Ghea penasaran apa yang membuat Daffa tiba-tiba menghilang bahkan tak satupun pesan maupun panggilan darinya yang berbalas.

"Permisi," ujar Ghea.

Setelah beberapa saat menunggu, seorang wanita paruh baya dengan jilbab hitam melekat di kepalanya dan sebuah sapu yang ia bawa itu mendekat.

"Eh Neng Ghea," sapanya.

Tentu saja ia sudah mengenal Ghea, perempuan yang sering datang untuk belajar dengan Daffa itu kini berdiri di depan gerbang. Somiatun mendekat kemudian membuka gerbang setelah meletakkan sapu di samping gerbang.

"Ada apa Neng?" tanya Somiatun.

"Daffa ada Mbok?"

Somiatun menengok rumah kemudian kembali menengok Ghea, ada perubahan dari air muka Somiatun. Entah perasaan Ghea saja atau memang benar ketika ia menyebut nama Daffa wajah yang tadinya berseri berubah muram.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang