BAB 36 TERLENA WAKTU

147 60 24
                                    

Mata sudah menghitam membentuk sebuah kantung di bawahnya membuat penampilan perempuan yang masih berseragam itu terlihat sangat menyedihkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata sudah menghitam membentuk sebuah kantung di bawahnya membuat penampilan perempuan yang masih berseragam itu terlihat sangat menyedihkan. Meski penampilan sudah begitu berantakan ternyata ada yang lebih berantakan yakni perasaannya.

Wajahnya sudah kering, tak basah seperti sebelumnya karena lelehan yang berasal dari manik bening yang kini memerah. Dingin pelukan malam sampai menemui fajar tak lantas membuat kedua mata itu terpejam lelap.

Tak ingin satu detikpun lenyap begitu saja seolah waktu benar-benar berharga dan tak ingin terlewat hingga menarik penyesalan pada akhir. Ghea menggenggam tangan dingin di hadapannya, ia tak peduli akan kemarahan yang ia terima setelah ini karena semalam tak pulang ke rumah dan tak mengangkat panggilan ponsel yang berasal dari ibunya.

Satu-satunya hal yang Ghea pedulikan saat ini adalah keadaan Daffa. Meski semalam sempat drop, atas kuasa Tuhan lelaki itu masih bisa bernapas hingga pagi. Ghea benar-benar bersyukur, rasanya ketika ia lihat Daffa begitu sesak dirinya pun ikut larut dalam kesakitan.

Sayup-sayup terdengar pergerakan dari sofa, perempuan yang rebah di sana mulai terusik dan perlahan menggosok matanya yang pedih. Sebenarnya tak beda jauh dengan Ghea, Riri juga bisa dikatakan tak tertidur semalaman karena kondisi Daffa semalam baru ketika menjelang pagi beliau rebah namun Ghea sendiri tahu pasti tak akan sampai lelap perempuan itu tampak dari matanya yang selalu terbuka dalam beberapa menit untuk mengawasi kondisi Daffa.

"Tante tidur aja dulu biar Ghea yang jaga," ujarnya entah sudah berapakali pada perempuan itu.

Jujur saja ia kasihan para Riri harus tidur di sofa pasti badannya pegal-pegal setelah ini ditambah lagi selimut yang dipakai begitu tipis dan bisa saja membuatnya masuk angin.

Perasaan Ghea sebenarnya tak begitu keras seperti bagaimana ia tampakkan pada Maya, hanya saja sikap Maya yang merubahnya menjadi pembangkang dan tak mau mengalah.

"Ini sudah pagi lo, Ghe. Bukannya tante mau usir kamu, tapi apa orang tuamu tak marah?" tanya Riri bangkit dan mendekati blangkar.

Ghea menunduk membiarka pandangannya jatuh pada lantai sebagai titik pokusnya. Apakah setiap waktu pulang harus membuat kita pulang? Jujur Ghea sangat ingin duduk lebih lama mengawasi bagaimana wajah teduh ini terpejam, bagaimana ia mengerjap, bagaimana ia mulai risih karena berisik atau bagaimana ia terbangun sampai orang pertama yang ia lihat adalah Ghea.

"Ghea masih ingin di sini, Tan—"

Belum usai Ghea merampungkan ucapannya ponsel yang ia biarkan tergeletak di nakas berdering dengan gambar telepon bergetar di sana. Mata Ghea tertuju pada kumpulan aksara yang terakumulasi membentuk sebuah nama di sana.

"Pulanglah, Nak."

***

Suasana pagi ini masih begitu lara di hati Riri, putranya masih tak kunjung membuka mata dan mengucap selamat pagi seperti yang biasa ia lakukan.

TOXIC RELATIONSHIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang