Hidup itu seperti sebuah daun kering yang tertiup angin, terbang bersama dengan udara membawa menuju takdir masing-masing yang tak bisa kita tebak arahnya.
Sesuatu yang amat menyakitkan bisa jadi adalah hal yang kita butuhkan untuk menguatkan diri menghadapi sulitnya bertahan di tengah problema kehidupan.
Semua hal yang kita kira buruk ternyata satu demi satu menunjukkan titik positif di dalamnya. Sama seperti yang Handi alami, barangkali cinta belum tumbuh dalam hati tapi dari masalah yang terjadi ia belajar boleh jadi hal yang kita cinta, hal yang kita sayang harus kita lepaskan untuk melaju menemui garis takdir yang sudah ditetapkan.
Kehilangan putri yang bahkan belum sempat memanggilnya ayah adalah pukulan besar yang menyadarkan Handi agar tak melakukan kesalahan lain yang nantinya akan membuat ia kehilangan orang-orang yang berharga di sekitarnya.
"Makan ya," bujuk Handi berusaha menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut Rima.
Barangkali dalam pandangan Rima bahwa sosok yang ada di hadapannya hanyalah sebuah halusinasi yang harus segera ia usir pergi, jujur Rima tak ingin kehilangan kewarasan hanya karena nasib buruk yang menimpanya. Seperapa keras usahanya untuk melawan, menghempas dan mengusir ternyata sosok itu tetap ada di hadapannya. Rima tak ingin orang-orang menganggap ia telah tergila-gila dengan sosok Handi, bukankah ia harus bangkit demi putranya?
"Kamu pasti halusinasi kan? Pergilah! Saya tidak gila, saya pasti bisa kembali normal demi putra saya!" bentak Rima menghempas sendok yang disuapkan.
Tentu saja apa yang dilakukan Rima secara tiba-tiba mengejutkan Handi namun hal tersebut tak lantas membuat Handi naik darah. Bukankah semua masalah ini berasal darinya? Karena itu ia harus memperbaiki kesalahannya dengan cara sabar menghadapi Rima sampai perempuan itu benar-benar pulih.
"Kamu tidak berhalusinasi, Rima. Saya benar-benar ada di sini, saya akan memperbaiki semuanya. Maafkan saya," ucap Handi penuh penyesalan.
"Tidak! Semua ini pasti bukanlah hal yang nyata!" balas Rima tak percaya.
Untuk saat ini Rima sendiri kebingungan membedakan yang mana halusinasi dan yang mana nyata karena jujur ia menganggap semua yang ia lihat, semua keributan di kepalanya bahkan semua yang coba ia gapai adalah halusinasi. Rima tak percaya jika halusinasi meminta ia percaya bahwa hal itu adalah nyata.
"Di mana Barra, mengapa halusinasi ini tak pernah bisa berhenti!" isak Rima pedih.
Nyaring raungan menusuk gendang telinga, Rima menekan dadanya yang berdenyut nyeri. Ia tak ingin lemah tapi ia juga tak mampu terus menerus berusaha kuat.
Suara keributan dalam ruangan membangunkan remaja yang tertidur di kursi yang berada di depan ruang perawatan. Dengan setengah sadar Barra berjalan masuk ruangan, ia terkejut melihat ibunya mengamuk dan menangis kencang sementara Handi berusaha menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC RELATIONSHIT [END]
Teen FictionWARNING!! PART LENGKAP DAN SIAP-SIAP PATAH HATI! 𝓙𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓰𝓪𝓷𝓽𝓾𝓷𝓰𝓴𝓪𝓷 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹 𝓹𝓪𝓭𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓴𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓼𝓲𝓪𝓹𝓪𝓹𝓾𝓷 𝓲𝓽𝓾 𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓹𝓮𝓻𝓰𝓲. _________ HAPPY KIYOWO_________ Pernahkah kalian dib...