Bab 6

15 7 1
                                    

Fritz sedang mengembuskan asap rokok melewati lubang hidung dan mulutnya ketika Elias tiba di dekat gerbang. Begitu Elias turun dan menutup pintu mobilnya, Fritz melempar sisa putung rokok itu ke atas tanah kemudian menginjaknya menggunakan sepatu. Laki-laki itu menyeringai begitu Elias berada dalam jarak beberapa langkah darinya, kemudian mengangguk saat menyapanya, "Dok!"

"Apa tidak terpikir kalau kau akan melubangi sepatumu dengan putung rokok itu?"

Fritz tertawa keras kemudian menepuk bahunya seraya berkata, "sepatuku sudah terbakar karena putung rokok itu."

"Itu konyol sekali."

"Aku tahu. Tapi ketika kau sudah bekerja di tempat ini selama bertahun-tahun, kau akan menjadi cukup gila untuk melakukan hal-hal konyol itu. Ayo, Amos sudah menunggumu."

Elias penasaran tentang seorang kepala bangsal berusia lima puluhan yang menghubunginya kemarin. Setelah melewati ruang pemeriksaan, Elias berjalan mengikuti Fritz menyusuri lorong gelap di lantai satu. Siang itu Elias melihat beberapa pasien yang berkeliaran di sekitar sana. Seorang pasien dengan usia senja yang masih diingatnya kemarin sedang duduk melamun di atas kursi roda sembari menekuk jari-jarinya dengan kaku. Pasien itu lebih suka menghindari keramaian dan memilih tempatnya di dekat jendela dimana cahaya matahari pagi dibiarkan menerobos masuk melewati kaca dan membanjiri lantai lorong dengan warna kuning keemasan yang tampak mencolok.

Sementara itu, empat orang pasien lain sedang duduk membentuk sebuah lingkaran tak jauh disana. Salah satu dari mereka yang memiliki tampilan beringas dan luka baret di wajahnya, memegang setumpuk kartu kemudian menyebarnya di atas meja. Tiga pasien lain yang ikut membentuk lingkaran mulai membalik kartu mereka, mengintip, kemudian menciptakan keributan dengan suara teriakannya.

"Tenang! Pelankan suaramu!" seru Fritz sembari memelototi pasien itu.

Sang pasien menunduk, sisanya mencodongkan tubuh dan balik memelototi Fritz. Elias berkedip ketika merasakan sejumlah pasang mata tersorot ke arahnya. Ketiga pasien itu mulai mengamatinya seolah melihat ancaman baru saja masuk ke dalam sarang. Kedua alis mereka saling bertaut dengan kesal, wajahnya berputar dan tatapannya terus mengikuti kemana Elias melangkah. Kemudian, pria beringas dengan luka melintang di wajah itu mulai melempar koin ke arahnya. Elias tersentak saat merasakan permukaan logam dingin itu menyentuh kulitnya. Seketika langkahnya terhenti, Elias hendak melawan, tapi Fritz yang lebih dulu maju dan meninggikan suaranya.

"Monte!! Jika kau melakukannya lagi, aku akan membuang semua koinmu.."

"Tidak, jangan koin keberuntunganku!" teriak Monte dengan keras. Wajahnya memerah dan urat-urat muncul di dahinya yang lebar. Elias baru menyadarinya, ada bekas luka juga disana. Ketika laki-laki itu bangkit berdiri, ia akan membuat orang-orang merasa kecil karena tingginya yang mengerikan. Kedua bahunya lebar dengan otot-otot lengan yang besar. Bobotnya mungkin dua kali lebih besar dari Fritz. Monte mungkin seorang peturung, namun ia hanya tunduk pada logam tidak berarti yang disebutnya sebagai koin keberuntungan.

"Mundur!" pinta Fritz dengan tegas. "Aku tidak main-main!"

Tiga pasien yang masih mempertahankan lingkaran ikut menunduk selagi sang kapten bergerak mundur. Elias baru menyadari ketakutan yang dirasakan Fritz ketika pria itu menghela nafas kemudian bergerak mundur ke arahnya. Tapi Fritz yang bermuka tebal bersikeras untuk bertanya, "kau baik-baik saja?"

"Sedikit terkejut."

"Terima saranku, jangan terlalu dekat dengannya, kau tidak akan selamat, dia mantan tentara."

Elias menggelengkan kepala, samar-samar merasakan sudut bibirnya terangkat karena geli. "Tidak tertarik, tapi terima kasih."

Sembari melanjutkan perjalanan mereka, Elias menoleh ke sekitarnya, berusaha mencari sesuatu di sekitar lorong. Sejumlah pasien lainnya masih berkeliaran di sekitar sana. Beberapa diantara mereka menyibukkan diri untuk berkeliaran, melompat-lompat, menggumamkan sesuatu dengan suara yang tidak jelas, atau sekadar berdiam diri. Sementara itu layar televisi di sudut ruangan berkedip, kali ini menampilkan wajah familier Jim Franklin yang membawakan acara hiburan Mom and The Ducks. Monolog dengan aksen Texas kentalnya menggantung di sepanjang lorong hingga layar tiba-tiba berubah menjadi gelap dan suara keriuhan penonton dalam siaran itu lenyap, digantikan oleh suara nyaring dari mikrofon yang tidak sedap di dengar. Suara itu diiringi oleh kemunculan wajah seorang petugas berseragam dengan papan nama Theodore yang terlihat sedang berdiri dari balik kaca bening setebal lima milimeter di ruang obat. Pria ini menggumamkan sebuah perintah dengan nada yang menegaskan bahwa ia telah mengulanginya sebanyak ratusan kali.

THE UNSEEN (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang