Bab 56

5 5 1
                                    

Petir memukul atap dan jendela dengan keras. Suara gemuruh gunturnya mengaung di telinga dan membangunkan Elias dari tidurnya malam itu. Sementara itu alarm di atas nakas kecil masih menunjukkan pukul dua dini hari. Elias bangkit duduk di atas kasurnya sembari menatap lurus melewati kaca jendela kamarnya. Hujan turun deras di luar sana. Anginnya yang bertiup kencang berusaha mengacaukan pekarangan rumahnya. Ranting-ranting pohon yang menggantung mengetuk permukaan jendela sebelum jatuh karena tertiup angin. Sementara itu hawa dingin mulai menjalar di setiap sudut tempat.

Sekilas Elias menyaksikan sebuah siluet hitam melintas melalui celah di bawah pintu kamarnya yang terutup. Ia mengedipkan mata untuk melihatnya lebih jelas, namun siluet itu sudah hilang pada detik berikutnya. Dengan enggan Elias menyeret tubuhnya turun dari atas kasur. Ia meringis begitu telapak kakinya bersentuhan dengan lantai kayu yang dingin dan begitu sampai di ambang pintu, ia menarik pintu kayunya perlahan hingga terbuka.

Saat Elias melongokkan kepalanya keluar, lorong di depan kamarnya kosong. Lampunya menyala, namun tidak ada apapun selain sebuah lukisan yang menggantung di dinding dan pot besar yang diletakkannya di dekat tangga.

Elias bergeming menatap lorong itu selama beberapa saat, yakin kalau ia melihat sesuatu melintas disana satu menit yang lalu. Kemudian ketika tatapannya turun menyapu lantai kayunya, Elias mendapati sebuah cairan merah yang membentuk jejak kaki berbaris dari depan pintu kamarnya menuju tangga. Tiba-tiba saja darahnya berdesir cepat. Cairan merah itu terlihat seperti darah. Instingnya meminta Elias untuk mengikutinya sampai di anak tangga.

Begitu sampai di bawah, Elias menyalakan tombol lampu hingga cahaya redup berwarna keemasan membanjiri ruangan. Sekilas, Elias melihat pintu kamar tamu yang dibiarkan terbuka. Ia melongokkan wajah ke dalamnya, melihat ranjang kecil kosong itu tampak berantakan. Kemudian suara berderit dari arah dapur mengalihkan perhatiannya. Elias melangkah dengan perlahan menyusuri lorong menuju dapur. Lorong itu juga tampak gelap sehingga ia harus menyalakan lampunya. Begitu sampai di dapur, kekacauan itu sudah ada di depan mata: pecahan keramik berserakan di atas lantai, sekotak susu yang diletakkan di atas permukaan meja tumpah, dan seseorang menumpahkan cat berwarna merah di atas dinding dapurnya. Seekor kucing liar tentunya tidak dapat melakukan hal itu.

Untuk membuktikan dugaannya, ada jejak kaki yang sama di lantai dapur. Jejak kaki itu tampak lebih jelas. Ketika Elias menunduk untuk menyentuhkan permukaan jarinya di atas jejak itu, cairan berwarna merah terang segera menutupi jarinya.

Darah.

Mungkinkah seseorang yang menyebabkan kekacauan itu menginjak pecahan keramik hingga membuat kakinya terluka kemudian berkeliaran di sekitar lorong rumahnya?

Sebuah sensasi asing hinggap di atas tengkuknya ketika sudut matanya menangkap siluet hitam yang melintas di belakangnya. Soktak Elias berbalik, tapi tidak ada seseorang yang berdiri disana. Jadi Elias terburu-buru meninggalkan dapur dan bergerak menuju ruang depan, tepat dimana jejak kaki itu menghilang.

Lampu di ruangan itu padam. Saat Elias menekan tombol di dinding untuk menyalakannya, suara pecahan yang keras dari langit-langitnya memekakan telinga. Lampu itu rusak. Serpihan pecahannya bertebaran di atas karpet. Tak lama kemudian, kilat menyambar melewati jendela-jendela di ruang depan yang terbuka. Cahayanya mampu memberi penerangan di seisi ruangan dan saat itu juga Elias melihat Rachael berdiri di depan salah satu jendela yang terbuka dengan wajah menghadap ke depan. Angin dingin menapar wajahnya dengan keras, tubuhnya berdiri tegap sedang kedua kakinya yang telanjang tampak terluka.

"Rachael! Rachael, apa yang kau lakukan disana? Kau terluka!"

Wanita itu tidak berbalik saat mendengarnya dan gemuruh guntur menggelengar keras di luar sana.

"Rachael, menjauh dari jendela! Rachael!"

Kilat berbondong-bondong muncul, kemudian disusul oleh suara gemuruh guntur yang menggentarkan Elias. Namun ketika wanita itu tidak juga beranjak pergi, Elias bergegas menghampirinya. Ia sampai melupakan pecahan lampu yang berbaran di atas karpet hingga kepingan itu merobek kulit kakinya yang telanjang. Sembari meringis, Elias mengabaikan luka berdarah pada kakinya dan berjalan mendekati Rachael. Punggung wanita itu langsung menegang saat Elias meletakkan satu tangan di atas pundaknya.

"Rachael! Hei! Ayo kembali ke kamarmu, ini masih tengah malam!"

Tiba-tiba bahu wanita itu berguncang hebat, tangisnya pecah dan bibirnya bergerak untuk mengatakan sesuatu.

"Kenapa kau melakukan ini?"

Elias berusaha mencerna pertanyaan itu, namun tidak berhasil.

"Apa? Apa yang kau bicarakan?"

Ketika berbalik Rachael menunjukkan wajahnya yang pucat, lingkaran hitam di bawah matanya yang membengkak, dan bibirnya yang membiru karena kedinginan. Namun Elias terlalu sibuk untuk mengamati wajah itu hingga ia tidak memerhatikan apa yang digenggam Rachael di satu tangannya. Sampai darah menetes di atas kaki telanjangnya, ia tidak tahu kalau Rachael akan mengayunkan sebuah pecahan keramik ke wajahnya. Elias berusaha menghindari serangan itu, namun ia tidak kalah cepat. Wanita itu melemparnya ke lantai, kemudian naik ke atas tubuhnya dan menyerangnya menggunakan pecahan keramik.

"Tidak, tidak, berhenti!"

-

THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)


THE UNSEEN (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang