Di luar udaranya terasa dingin. Angin yang bertiup kencang memukul-mukul atap bangunan, merambat di sepanjang tembok pembatas setinggi tiga meter, kemudian merangkak di atas rumput. Barisan pohon yang berdiri di kejauhan bergerak melambaikan dahannya mengikuti arah angin, Sisa daun kering yang berguguran terseret di atas tanah berumput yang terasa lembab.
Elias merapatkan jaketnya dan menggosok kedua tangan untuk menyingkirkan hawa dingin yang nyaris membekukannya itu. Ia dapat merasakan uap mengepul keluar dari mulutnya, kemudian menari-nari di depan wajahnya. Di sampingnya, Derek tampak tidak terganggu. Tubuhnya telah dihangatkan oleh nikotin yang diisapnya dengan sungguh-sungguh. Dahinya mengerut sesekali. Perhatiannya tertuju ke depan, persis ke arah danau yang membentang sejauh ratusan meter jauhnya. Kemudian, asap mengepul keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Asap itu sempat menari di atas kepalanya untuk sesaat sebelum lenyap begitu saja.
Suara gemerisik muncul dari berbagai tempat. Dimanapun angin merambat, Elias akan mendengar suara pergesekan rumput, dahan-dahan perpohonan atau bahkan suara genangan air yang tersapu ke permukaannya. Jauh dari kebisingan kota, tidak ada suara gemuruh mesin kendaraan yang berlalu lalang disana, tidak ada suara percakapan yang berdengung atau kebisingan lain. Alam mendominasi segala tempat sampai-sampai Elias dapat mendengar suara berderak ranting yang patah dan mendarat jatuh ke atas tanah.
Namun bukan itu yang sedang dipikirkan Derek. Derek terlihat sama sekali tidak tertarik dengan apa yang didengar atau dilihatnya. Laki-laki itu hanya tertarik pada apa yang muncul di pikirannya. Elias membiarkan Derek hanyut dalam pikirannya hingga putung rokoknya berubah menjadi abu yang menyisakan bara api kecil di atasnya, sebelum memutuskan untuk bertanya, "kau yang menemukan Rachael malam itu, bukan?"
Derek menjentikkan putung rokok untuk menyingkirkan abunya yang mulai memanjang kemudian mengangguk. "Ya. Itu benar."
"Bagaimana kondisinya saat itu?"
Sang polisi menghela nafas panjang kemudian mengisap rokoknya untuk kali terakhir sebelum melemparnya ke dalam danau.
"Aku tidak tahu apa aku masih mengingat detailnya, itu sudah satu tahun berlalu."
"Apa yang kau ingat?"
Kali ini Derek menatap Elias sembari menyipitkan kedua mata, "apa yang membuatmu tertarik?"
"Semuanya. Semua yang kau ingat malam itu."
Sembari menegakkan punggungnya, Derek menghela nafas Kemudian mengalihkan tatapannya dengan cepat selagi mengatakan, "baik, coba kuingat. Malam itu.. seseorang yang mengaku sebagai tetangganya menghubungi kantor polisi. Dia mengaku mendengar suara tembakan dari kediaman pasangan Simone - dua kali. Dia juga sempat mendengar suara teiakan, tapi.. itu seperti teriakan yang teredam. Seorang wanita. Kupikir itu Rachael, tapi ternyata ada wanita lain. Saat kami datang - kami maksudnya, aku dan Matt rekanku saat itu - kekacauan itu sudah terjadi begitu saja. Ada darah di dinding, pecahan tulang dan gumpalan daging di lantai yang kupikir adalah tengkorak milik Denise. Seseorang menembak mereka: Denise Simone dan Catherine Terrell. Dua tembakan. Denise di kepala, persis menembus tengkoraknya, dan Catherine di bawah wajah, hanya berjarak beberapa senti dari tenggorokannya. Aneh sekali, seperti tembakan yang meleset atau semacamnya. Mereka didudukan di atas kursi dalam keadaan terikat. Mulutnya disumpal menggunakan kain, kain merah mirip sapu tangan, hanya saja lebih panjang. Dan ada sebuah kursi lain, kursi itu diletakkan persis di antara Denise dan Chaterine. Tiga kursi yang disejajarkan, seperti ritual atau semacamnya. Kupikir kursi kosong itu untuk Rachael, tapi tidak, kursi itu kosong ketika kami datang dan kami menemukan Rachael terkunci di dalam gudang. Kuncinya hilang, jadi kami harus mendobraknya. Kondisinya sangat mengerikan saat itu. Dia sangat pucat, matanya ditutupi kain biru, tangannya terikat, tapi hanya tangannya saja. Dia meringkuk di sudut ruangan seperti orang ketakutan dan dia terus menyebut-nyebut nama putrinya, Morgan. Kami menemukan putrinya di dalam peti kayu, tepat di ruang bawah tanah. Itu buruk sekali. Balita itu baru berusia satu tahun, tubuhnya kurus, dia pucat sekali - seperti ibunya, dan dia hampir mati kehabisan nafas ketika kami menemukannya."
Elias bergeming merasakan tubuhnya menegang. Derek tampaknya merasakan hal yang sama. Raut wajahnya mengeras kala ia harus mengulang kejadian itu. Meskipun nafasnya tercekat, dadanya membusung dengan tegap. Seolah ia telah dilatih untuk menyaksikan kejadian mengerikan seperti itu dan mengulanginya untuk diingat.
"Kami mencoba berbicara dengan Rachael dan meminta keterangan darinya. Tapi setelah mengetahui putrinya baik-baik saja, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Jadi kami mendatangkan psikiater, mungkin itu akan membantunya berbicara dan memberi kesaksian tentang apa yang terjadi malam itu, namun hasilnya nihil. Dia tetap tidak mau bicara. Orang-orang menganggap kalau dia mengalami taruma.."
"Apa kau tidak berpikir begitu?" potong Elias dengan cepat.
"Aku?" Derek mendengus, kedua matanya mengerjap cepat. "Kupikir tidak. Aku melihat ketakutan di matanya, tapi itu bukan trauma, Itu sama sekali sesuatu yang berbeda." Laki-laki itu menggeleng saat mengingatnya, entah berusaha menyakinkan Elias atau dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya tapi kasus ini menjadi buntu karena dia menolak untuk bicara," lanjut Derek. "Tidak ada barang bukti yang dapat kami dapatkan di dalam rumah itu untuk menemukan pelakunya. Tidak ada tanda-tanda seseorang menerobos masuk secara paksa. Dan perluru yang kami temukan di kepala Denise, tidak lain milik tuan rumah itu sendiri."
"Milik Denise?"
"Tidak, aku tidak yakin Denise menyimpan senjata di rumahnya."
"Jadi milik Rachael?"
"Kurasa, ya. Wanita itu pernah membeli senjata beberapa bulan sebelumnya, aku tidak tahu untuk apa, tapi dia tidak pernah menggunakan senjatanya sebelum itu."
"Apa kau menemukan senjatanya?"
"Sayangnya tidak. Entah dimana seseorang membuangnya. Seandainya kami menemukan senjata itu, kami mungkin akan mendapatkan sidik jari pelakunya. Tapi tidak. Pembunuhannya sangat rapi, seolah seseorang telah merencanakan hal itu."
Elias tertegun selama beberapa saat, kemudian ragu-ragu ketika bertanya, "jadi.. kau pikir seseorang di luar sana bertanggungjawab atas kejadian itu?"
"Pastinya ada yang bertanggungjawab, tapi aku tidak begitu yakin orang lain yang melakukan hal itu."
"Apa maksudmu?"
Derek mengangkat kedua bahunya dengan tidak acuh, kemudian bersiap untuk menyulutkan pemantik pada putung rokoknya yang baru. "Well, jelas bukan perampokan. Tidak ada barang yang hilang, tidak ada tanda-tanda masuk secara paksa, dan jika pelakunya adalah seseorang yang tidak memiliki hubungan dekat dengan korban, bagaimana mungkin dia tahu dimana Rachael menyimpan senjata pribadinya dan menggunakan senjata itu untuk membunuh Denise dan Catherine? Selain itu aku sudah memeriksa cctv di dekat sana, tidak ada kendaraan asing yang masuk ke area itu dari rentang waktu pukul lima sore hingga dini hari, persis beberapa menit sebelum kejadian itu berlangsung. Jadi pelakunya pasti seseorang yang cukup dekat dengan Denise dan Catherine - atau Rachael. Kecuali itu adalah.."
"Apa?" Elias menyaksikan Derek memutar wajah untuk memandanginya, seolah tahu apa yang terbesit dalam benaknya.
"Kau tahu apa maksudku."
"Tidak itu tidak mungkin Rachael," Elias menggeleng cepat, namun tahu kalau ia masih meragukan ucapannya sendiri.
Tanggapan Derek berikutnya mengejutkan Elias.
"Kuharap juga bukan dia."
-
THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)
![](https://img.wattpad.com/cover/310672342-288-k591699.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Mistério / SuspenseRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...