Bab 10

11 6 1
                                    

Pagi itu Elias terburu-buru ketika mengendara pergi meninggalkan rumah sampai-sampai melupakan kemeja dan sepatunya. Ia tidak mau repot-repot mencukur rambut yang mulai tumbuh di rahangnya atau sekadar memoleskan jel di atas kepalanya. Namun jelas kalau pikirannya masih terpusat disana, di atas karpet merah tempat Elias terbangun pagi itu.

Cahaya matahari yang telah merangkak naik di atas atap, menyorot masuk melewati kaca jendela. Elias terbangun begitu merasakan cahaya itu membanjiri wajahnya. Kemudian ia mendengar seseorang mendengkur pelan dan tiba-tiba tubuhnya tersentak bangun karena kaget. Jess berbaring meringkuk di atas karpet dengan hanya mengenakan tanktop dan celana pendeknya. Kedua tangannya menekuk dengan aneh, dan matanya masih terpejam erat. Elias langsung mengambil kesempatan itu untuk pergi ke kamarnya. Ketika melirik jam dinding, ia menyadari bahwa tidak banyak waktu yang tersisa untuk memulai rutinitas pagi sebelum pergi bekerja. Jadi Elias hanya mencuci wajah, berpakaian, dan memoleskan selai di atas roti untuk santapannya. Ia juga membuat beberapa roti untuk Jess dan meninggalkannya di atas meja itu dengan secarik kertas berisi pesan. Elias masih mengingat isi pesannya dengan jelas. Baru beberapa menit yang lalu, ia menulisnya dengan terburu-buru:

Kau harus meninggalkan rumah ini sebelum aku kembali. Semalam itu kesalahan. Maafkan aku, tapi itu sudah berakhir.

Jess tidak akan menyukai isi pesan itu. Elias dapat membayangkan reaksinya, namun Elias mencoba mengabaikannya selagi ia mengendara cepat untuk sampai di rumah sakit.

Berbeda dari kota, jalanan disana tampak kosong. Tidak banyak mobil yang berlalu lalang sehingga Elias merasa aman untuk menambah kecepatannya. Namun di tengah jalan, Elias menyaksikan sejumlah orang berkerumun mengelilingi sebuah pohon besar yang tumbang. Sampah dedaunan menyelimuti jalanan seperti segerombolan semut, sementara batang pohon berukuran besar yang tumbang itu berhasil menutupi seluruh jalan. Dahan dengan dedaunannya yang lebat juga memblokade seluruh pemandangan di seberang jalan hingga Elias harus mengadah untuk menyaksikan seberapa jauh pohon itu menutupi jalan.

Ketika seorang petugas melambaikan tangannya di kejauhan, Elias memperlambat laju hingga ban mobilnya berhenti berputar. Petugas berseragam itu mengitari mobilnya dan berbicara di dekat kaca.

"Jalanan di tutup sementara, kau sebaliknya berputar."

Elias menyipitkan kedua mata dan mulai menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. "Tapi ini jalan satu-satunya untuk sampai di kaki bukit, bukan?"

Petugas itu mengerutkan dahinya, menatap ke sekitar kemudian berkata, "atau kau bisa berjalan kaki menuju terowongan."

"Apa?"

"Ada terowongan kecil di dekat sini. Kau hanya perlu berputar sampai kau menemukan jembatan dan sungai, disana ada jalur kecil. Tidak cukup besar untuk mobil, tapi kau bisa berjalan kaki. Perjalanannya tidak akan jauh."

"Aku tidak punya waktu.."

Petugas itu mengangkat kedua bahunya dengan tidak acuh. "Begitupun aku. Tolong, mundurlah!"

"Tunggu, berapa lama kalian akan menutup jalannya?"

"Aku tidak tahu, kuharap secepatnya."

Petugas itu berlalu pergi meninggalkannya. Elias mengetuk setir mobilnya dengan kesal. Kembali ke rumah bukanlah pilihan, tidak ketika Jess masih ada disana. Jadi Elias memutuskan dengan cepat untuk memutar kemudi dan menemukan terowongan kecil di dekat jembatan.

Setelah memarkir mobilnya di dekat posko penjaga, Elias bergerak menuruni tanah yang melandai menuju terowongan kecil. Jalur yang dilaluinya licin dan berbatu. Genangan air sisa hujan mengisi sejumlah lubang di jalanan. Sementara itu udara di sekitarnya terasa lembab. Suara gemerisik dedaunan yang bergesek kala tertiup angin menggantung di udara dan menjadi satu-satunya sumber suara yang dapat didengar Elias. Ketika menengok ke belakang, Elias menyadari kalau ia sudah berjalan ratusan meter jauhnya meninggalkan posko. Hawa dingin di sekitar sana mulai menyergapnya. Elias merapatkan jaket kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Terowongan itu tak jauh di depannya. Panjangnya sekitar seratus atau dua ratus meter. Persis di atasnya, sulur-sulur tanaman rambat menggantung seperti pintu masuk yang nyaris menutupi terowongan. Jalanan kian menyempit begitu Elias sampai di depannya. Sementara itu bagian dalam terowongan tampak gelap dan lembab. Aroma busuk yang tidak sedap tercium di mana-mana. Menggunakan penerangan dari ponselnya, Elias berjalan dengan hati-hati menyusuri terowongan itu. Namun bau busuk yang menusuk hidungnya dengan tajam membuat kepalanya terasa pening sehingga Elias mempercepat langkahnya, nyaris berlari untuk sampai di ujung terowongan. Elias baru dapat bernafas lega begitu keluar dari sana.

Angin dingin kembali menampar wajahnya. Elias berusaha untuk mengabaikan sejumlah suara yang berdengung di kepalanya begitu ia melanjutkan sisa perjalanan menuju kaki bukit. Setidaknya ia telah menempuh perjalanan panjang sejauh satu kilometer sebelum tiba disana. Seorang petugas yang berjaga di pintu gerbang langsung mendekatinya untuk bertanya.

"Ada yang bisa kubantu?"

Elias mengabaikan hidungnya yang memerah dan suaranya yang berdengung karena kedinginan saat menjawab, "umm.. sebenarnya aku bekerja disini. Tadi ada kendala di perjalanan. Pohon besar tumbang menutupi seluruh jalan sehingga aku harus meninggalkan mobilku dan berjalan kaki untuk sampai disini, jadi aku sedikit terlambat."

"Bisa tunjukan ID-mu?"

"Aku tidak punya ID, tapi aku punya tanda pengenal. Kau bisa mengeceknya, mereka sudah memasukkan dataku di sistem."

Elias menyerahkan kartu tanda pengenal pada sang petugas selagi ia mengamati sebuah mobil polisi yang terparkir di halaman depan bangunan. Segera setelah petugas itu membuka pintu gerbang, Elias mendekatinya untuk bertanya, "hei, ada apa disana?"

Petugas itu mengangkat kedua bahu seolah kunjungan aparat hukum merupakan suatu hal yang biasa terjadi disana. "Insiden. Ada pasien yang berusaha melarikan diri dan seseorang menelepon polisi. Mereka akhirnya menemukannya."

"Siapa?"

"Aku tidak tahu, aku baru disini. Aku tidak mengenal semua pasien cukup baik."

Elias tidak menunggu lama dan langsung berlari melewati lobi. Seorang petugas yang familier dengan papan nama Theodore langsung mengamati tampilanya begitu Elias memasuki lobi. Kemudian Elias sadar kalau ia belum melepas jaket dan sepatu ketsnya. Alih-alih mengacuhkan Theodore, Elias langsung bertanya, "apa yang terjadi?"

Theodore menggindikkan kedua bahunya dan berkata, "itu Rachael, dia berusaha untuk kabur."

Jantung Elias berdegup kencang saat mendengarnya. Sekujur tubuhnya menegang, namun Elias sudah punya firasat kalau itu akan terjadi.

"Dimana dia sekarang?"

"Di ruang tindakan. Beth sedang menanganinya, sebaiknya jangan masuk dulu sampai prosedurnya selesai."

Elias mengangguk menyetujui kemudian berjalan dengan cepat menyusuri lorong. Sejumlah pasien lain terlihat berkeliaran di sana. Layar televisi yang menyala membawakan acara talk show yang sama seperti kemarin. Suaranya beradu dengan suara musik yang diputar melalui mikrofon pengeras suara. Semua hal itu dimaksudkan untuk membuat seluruh pasien merasa tenang, namun hal itu tidak dapat menyamarkan teriakan keras dari balik pintu ruang tindakan. Mengabaikan perintah Theodore, Elias mendekati pintu ruangan itu untuk mengintip ke dalam. Dua orang pasien melakukan hal yang sama dengan melongokkan wajahnya karena penasaran. Beberapa di antara mereka beringsut dinding dan menekuk tubuhnya karena ketakutan.

Sementara itu, melalui celah kecil pintu yang sedikit terbuka, Elias menyaksikan bagaimana dua orang perawat menahan Rachael di atas kasur ketika Beth menyuntikkan cairan penenang di lengannya. Wanita itu berusaha keras untuk melepas diri hingga pergelangan tangannya memerah. Punggungnya yang kaku terangkat tinggi kemudian menghantam permukaan kasur berulangkali sedangkan jari-jari kakinya menekuk selagi cairan penenang itu bereaksi dalam tubuhnya. Reaksi kejang itu tidak berlangsung lama. Obat bius bekerja dengan cepat untuk menenangkan Rachael, namun tidak cukup kuat untuk mematikan seluruh syarafnya selagi Beth menyuntikkan cairan lain. Elias dapat melihatnya dengan jelas: wajah Rachael yang pucat, memerah saat menahan rasa sakit. Kedua matanya membeliak dan cairan bening keluar dari mulutnya yang terbuka.

Elias menahan keinginan kuat untuk menyeruak masuk dan menghentikan prosedur itu. Sekujur tubuhnya berkeringat saat membayangkan rasa sakit yang harus di tanggung Rachael akibat obat itu. Namun cairan bius tidak hanya mematikan sebagian fungsi organnya, namun juga meredam teriakan Rachael hingga perlawanannya perlahan-lahan melemah dan jari-jari Rachael yang sebelumnya menusuk tajam di lengan sang perawat, kini mulai terkulai jatuh di atas kasur. Bola matanya yang memerah berputar. Elias terkesiap. Wanita itu melihatnya berdiri di balik pintu, mulanya dengan kebencian, sebelum tatapannya melemah hingga kembali kosong seperti yang dilihat Elias kemarin. Samar-samar Elias menangkap cairan bening jatuh dari sudut matanya.

Wanita itu menangis?

Elias mengerjapkan beberapa kali, tapi sebelum ia benar-benar dapat memastikan apa yang baru saja dilihatnya, Rachael sudah memejamkan kedua mata dan tertidur.

-

THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)


THE UNSEEN (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang