"Tahun itu kami pindah ke rumah baru. Letaknya cukup dekat dari kota. Setelah bertahun-tahun, aku dan Talia akhirnya sepakat untuk membeli rumah itu. Kami berpikir kalau itu akan bagus untuk anak kami ketika dia lahir. Rumahnya cukup besar untuk ditempati dua orang, setidaknya kupikir nanti akan lebih ramai dengan kehadiran anggota keluarga baru. Itu adalah sebuah rumah di belakang rel dengan cat dinding putih yang memiliki dua lantai. Balkonnya menghadap langsung ke arah rel di seberang, sedangkan pekarangannya cukup luas untuk dibuat taman. Tapi rumah itu tidak lebih dari bangunan tua yang sudah tidak ditempati setelah bertahun-tahun. Ada banyak kerusakan yang harus diperbaiki. Atapnya bocor, kacanya retak, dan engsel pintunya berderit. Rumah itu tercium aneh ketika kali pertama kami memasukinya. Barang-barang berserakan dimana-mana, tapi karena ruangannya cukup luas dan ada banyak ventilasi, bau apaknya tidak terperangkap di dalam sana. Aku hanya mencium bau kayu tua, genangan air di lantai dan dinding yang diselimuti debu.."
Elias melipat satu kakinya di atas satu kaki lainnya ketika mengingat kembali momen itu. Di kepalanya, bayangan wajah Talia yang tersenyum lebar kala ia membawa wanita itu masuk ke rumah baru mereka, berkelebat. Elias berharap dapat mengulangi momen itu sekali lagi. Ia bisa berpura-pura bahwa itu benar-benar terjadi, dan ia bisa melupakan dengan mudah keyataan pahit yang harus dihadapinya. Tapi semua itu hanya akan berhasil dengan alkohol. Sementara, sudah berbulan-bulan sejak Elias berkomitmen untuk tidak mabuk. Butuh waktu lama baginya untuk pulih dari trauma itu. Butuh waktu lama bagi Elias untuk merangkak keluar dari kubangan masa lalu yang memerangkapnya untuk tetap berbaring di atas kasur, menangisi Talia, kemudian mabuk pada pagi, siang, hingga petang. Elias tidak akan menukar kemajuan yang telah dibuatnya hanya dengan sedikit godaan – tidak ketika segalanya telah berubah.
"Tapi itu sama sekali tidak masalah," Elias melanjutkan, kemudian menggeser tubuhnya di atas kursi untuk mencari posisi senyaman mungkin. "Talia menyukainya. Dia memetakkan semua ruangan di dalam rumah itu dengan cepat. Dia yang mengatur ruangan mana yang akan kami pilih sebagai kamar tidur utama, kamar tidur anak, gudang penyimpanan, dan dia bahkan sudah memiliki rencana untuk memperbaiki pekarangan itu untuk membuat tamannya sendiri. Dia memintaku bekerja membuat rumah pohon untuk anak kami nanti. Dia sudah memutuskan warna cat apa yang akan kami gunakan untuk setiap ruangan itu. Semuanya sudah berada dalam kendali dan aku tidak berniat mengacaukan rencananya. Aku membiarkan Talia mengatur semua itu, dan selama berminggu-minggu aku terus bekerja untuk memperbaiki semuanya.
"Pada hari-hari cerah, Talia suka berdiri di atas balkon dan memandangi kereta yang bergerak pelan melewati rumah kami. Entah bagaimana dia menyukai suaranya. Menurutku, suara itu sangat menganggu. Aku tidak dapat menyelesaikan pekerjaanku dengan baik setiap kali berada di rumah, jadi aku menyelesaikannya di luar secepat mungkin. Tapi yang terburuk adalah saat malam. Suara berisiknya membuatku kesulitan tidur sehingga aku harus menelan obat tidur untuk membantuku. Bagian mengejutkannya adalah, setelah hampir dua bulan menempati rumah itu, aku mulai terbiasa. Tidak ada yang begitu menggangguku dan akhirnya aku bisa tidur nyenyak seperti Talia."
Abe menautkan jari-jarinya di atas pangkuan. Satu alisnya terangkat ketika menunggu Elias melanjutkan ceritanya. Namun, Elias tidak segera berangkat menuju poin utama dari apa yang hendak disampaikannya, alih-alih tertegun menatap keluar melewati lubang kecil ventilasi udara. Di luar sana, langitnya tampak cerah. Ia membayangkan kabut yang sebelumnya menutupi bukit perlahan mulai menghilang, digantikan oleh cahaya keemasan matahari yang menyebar rata di seluruh tempat. Pohon-pohon tinggi di kejauhan berdiri dengan tegaknya. Angin kencang nyaris tidak muncul sehingga sekawanan burung dapat terbang dengan bebasnya dan hinggap dari satu dahan ke dahan lainnya. Pikirnya, itu hari yang terlalu cerah untuk sebuah kisah yang tragis.
"Kemudian hari itu datang – tidak bisa terhindarkan. Aku sedang memberi sejumlah peralatan di pusat kota ketika aku melihat wajah familier gadis ini. Aku tahu dia adalah orang yang sama karena aku begitu mengenalinya. Setiap sudut wajahnya, setiap bekas luka, dan mata itu. Mata yang anehnya tampak cerah dari kejauhan, namun cukup gelap jika dilihat dari dekat. Bagaimana mungkin aku melupakannya. Rambut ikal coklatnya, posturnya yang kecil, tinggi, dan lembut. Aneh karena aku bisa langsung mengenali gadis itu hanya dengan sekali melihatnya. Dia tidak pernah berubah, bahkan setelah bertahun-tahun. Kecuali, tentu saja, karena sekarang dia lebih dewasa, dan.. dia bahagia. Dia Madison. Madison yang sama seperti yang kuingat. Aku melihatnya tersenyum. Dia mengenakan mantel putih, kemeja biru dan celana denim yang bagus. Penampilannya rapih. Rambutnya dikuncir dan dia tampak cantik. Tapi dia tidak sendirian. Aku mengetahuinya segera setelah wanita itu berjalan menuju sebuah ford hitam yang menunggunya di pinggir jalan. Seorang pria keluar dari dalam ford itu, melambaikan tangan padanya kemudian membantu Madison memasukkan sejumlah barang bawaannya ke dalam bagasi. Untuk sementara aku hanya menatap, aku menatap untuk waktu yang lama, sampai dia menghilang di ujung jalan. Kemudian aku menyebrangi jalan mendekati sebuah bangunan tempat dimana Madison keluar sebelumnya. Aku membaca papan nama di atasnya. Itu sebuah klinik umum. Aku bertanya pada petugas yang saat itu bekerja disana dan dia memberitahuku informasi yang kubutuhkan, tapi tidak semuanya, jadi aku harus mencaritahunya sendiri."
Elias menundukkan wajah menatap kuku-kuku jarinya yang polos, sejenak berpikir kemudian, "aku bertanya-tanya seandainya hari itu tidak pernah terjadi, seandainya aku tidak melihat Madison, apa itu akan mengubah segalanya. Tapi aku tahu, aku tidak bisa selamanya hidup untuk menerka-nerka semua itu, dan jika aku tahu apa yang akan terjadi, aku akan menghentikan diriku pada saat itu juga. Aku akan melakukan segala cara untuk mencegahnya. Tapi tidak. Itu sudah terjadi, dan aku tidak bisa menyangkalnya.
"Pada hari ketika aku melihat wanita itu, aku pulang ke rumah lebih cepat untuk melacak keberadaannya melalui internet. Tidak cukup sulit untuk mengetahui dimana Madison tinggal, apa profesinya, dan nama belakangnya. Dia - sama seperti kebanyakan orang - memiliki kehidupan yang normal. Dari sana aku tahu banyak hal sudah berubah sejak perjumpaan terakhir kami di dekat danau. Tahun-tahun yang panjang dan menyiksa. Aku menyebutnya begitu. Aku sudah menyaksikannya tumbuh selama ini, kemudian dia menghilang, dan muncul begitu saja tanpa diduga-duga. Hanya seperti.. penampakan."
"Dan apa yang kau rasakan tentang itu?"
Elias tertegun. "Aku tidak tahu. Kurasa aku hanya penasaran."
"Hanya penasaran?"
"Ya. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya: bagaimana keluarga barunya? Apa dia memiliki saudara? Bagaimana harinya? Dan kemudian aku sadar kalau seharusnya aku tidak pernah mengajukan pertanyaan itu."
"Kenapa?"
Ada keheningan yang panjang sebelum Elias menatap Abe dengan mantap dan berkata, "karena itu mengalihkan perhatianku. Itu menjungkirbalikkan hidupku dan tiba-tiba, aku kembali menjadi orang itu. Orang yang begitu terobsesi pada gadis yang dulu tinggal di seberang rumahnya. Orang yang ingin tahu segalanya tentang gadis itu. Sementara Talia.. dia mulai terasingkan. Aku tidak bisa mengenal diriku lagi saat itu. Apa yang kutahu hanyalah bahwa aku tidak boleh kehilangan Madison. Tidak lagi."
-
THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Mystery / ThrillerRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...