Bab 54

5 5 1
                                    

Elias merasakan sesuatu memukul pinggulnya dengan keras sampai-sampai ia tersentak di atas kursi mobilnya. Punggungnya menegak seketika dan jari-jarinya terkepal saat menahan rasa sakit.

"Maaf," bisik Rachael di bibirnya, kemudian ia sadar kalau sesuatu yang menghantam pinggulnya adalah lutut Rachael ketika wanita itu berusaha naik ke atas pangkuannya.

Selama beberapa saat, Elias bergeming sampai Rachael menegurnya, "kau baik-baik saja?"

Elias memejamkan mata kemudian menarik nafas. Ketika membuka matanya kembali, ia menatap wajah Rachael yang berada persis di depan wajahnya, merasakan nafas panas Rachael menyentuh kulit wajahnya yang berkeringat dan aroma jeruk yang segar menguar dari pori-pori Rachael. Untuk sesaat Elias melupakan rasa sakit itu, kemudian menarik wajah Rachael turun dan mencium bibirnya dengan rakus.

"Ya," bisiknya dengan parau.

Di pinggiran danau, persis di dalam mobilnya yang tiba-tiba terasa sempit, Elias merasakan hawa panas mencekik mereka. Kemeja putih yang dikenakannya saat itu memerangkap kulitnya yang mulai berkeringat. Ketika Rachael menyentuhkan jari-jarinya yang terasa hangat di tengkuk Elias, ia merasakan sebuah getaran aneh yang menjalar dengan cepat ke sekujur tubuhnya. Kemudian tiba-tiba wanita itu sudah berada di atas pangkuannya, menekan bagian tubuhnya yang mengeras seketika, sebelum menggerakan kedua tangannya untuk menarik turun resleting celana Elias.

Elias tidak dapat berpikir jernih terutama ketika Rachael mulai menggerakan tubuh di atas pangkuannya. Sepasang tangan kecil yang cekatan itu kini telah memerangkapnya. Rachael meletakkan lengannya di pundak Elias, mendekat hanya untuk menciumnya. Selama beberapa saat, Elias hanya sanggup mendengar tarikan nafas Rachael yang pelan, kemudian ia menelan liurnya saat mengamati bagaimana Rachael memejamkan mata sebelum membawa wajahnya turun untuk menciumi rahang Elias yang kini ditumbuhi oleh janggut tipis berusia tiga hari. Saat Rachael bergerak lebih rendah untuk menciumi ceruk di antara lekuk lehernya, Elias memejamkan mata rapat-rapat.

Aroma nafas Rachael tercium menyenangkan di mulutnya. Rasa anggur yang mereka bagi bersama beberapa jam lalu setelah diizinkan keluar dari rumah sakit itu, masih tertinggal di bibir Rachael. Elias kemudian menunduk untuk menyaksikan bagaimana wanita itu memainkan jari-jarinya di atas tubuh Elias, memaksanya untuk masuk lebih dalam hingga Elias harus menahan desisannya kuat-kuat.

Nafas mereka yang memburu melatarbelakangi suara di dalam tempat sempit dan kedap udara itu. Panasnya menempel lekat-lekat di atas kulit mereka, menciptakan bulir-bulir keringat yang mulai membasahi pakaiannya. Elias menahan tubuh Rachael ketika wanita itu meletakkan kedua tangan pada dasbor di belakangnya. Ketika jari-jari Rachael secara tidak sengaja merosot, laci di dasbor terbuka dan tanpa sengaja wanita itu menyentuh benda logam yang tersembunyi di sana.

Kejadiannya begitu cepat sampai-sampai Elias tidak dapat mencegah Rachael untuk berbalik dan melihat apa yang tersembunyi di dalam laci. Tiba-tiba, pergerakan Rachael terhenti. Tubuhnya menegang dan wajahnya memerah saat wanita itu melihat sebuah senjata api yang tersembunyi di dalam sana. Itu adalah senjata api yang sama yang dicuri Elias dari dalam rumah pasangan Simone ketika ia menyusup masuk.

Menggunakan jari-jarinya yang kurus, Rachael meraih senjata itu dan mengangkatnya perlahan di depan wajah seolah berusaha mengenalinya. Ada kecurigaan dari cara wanita itu memandangi Elias. Tiba-tiba saja Rachael menjauhinya, dengan cepat mengancingi pakaiannya kemudian kembali ke tempatnya di kursi penumpang. Ekspresinya mengeras, kedua matanya yang tiba-tiba menjadi gelap kini menatap lurus melewati kaca jendela mobil yang transparan. Keheningan yang panjang merayap di sekitar mereka.

Selama beberasa saat, Elias hanya duduk diam untuk mengamati wanita itu. Ia menyaksikan bagaimana rahang Rachael menegang, bibirnya terkatup rapat sedangkan jari-jarinya yang menggenggam senjata mulai menekuk dengan kaku. Sampai ketika Elias mengangkat satu tangannya untuk menggapai wajah Rachael, wanita itu menepisnya kemudian menatap Elias dengan sengit.

"Kenapa kau menyimpan ini?" tanya Rachael. Rasanya Elias sudah dapat menebak pertanyaan itu jauh sebelum Rachael mengucapkannya. Namun hal yang tidak diantisipasinya adalah jawaban yang harus ia berikan.

"Jika kau tidak suka, aku akan mengembalikannya."

"Kau tidak menjawab pertanyaanku!" tuding Rachael dengan suara dingin. Kemarahan terlukis jelas dalam raut wajahnya, meskipun begitu, wanita itu berhasil menjaga suaranya tetap terdengar datar.

Setelah lama tertegun untuk memikirkan jawaban apa yang mungkin ingin didengar Rachael dalam situasi itu, Elias menyerah untuk mengatakan yang sejujurnya. Firasatnya tahu bahwa tidak ada gunanya membohongi Rachael.

"Aku tidak tahu."

"Kau tidak tahu?"

"Kupikir.. rumah itu bukan tempat yang aman untuk menyembunyikannya."

Hening. Wajah Elias langsung memerah, jantungnya mencelos. Ia sudah tahu pertanyaan berikutnya yang akan diucapkan Rachael.

"Kenapa kau berpikir aku menyembunyikan senjata ini di dalam rumah?"

"Dengar, aku.. aku hanya.. lupakan saja, oke?! Aku tidak tahu apa yang kukatakan. Mari kita sudahi saja semua ini."

"Tidak, faktanya adalah, kau tidak memercayaiku. Kau masih berpikir kalau aku melakukan.."

Elias membiarkan kata-kata itu menggantung ketika ia merebut senjata api dari tangan Rachael kemudian bergerak keluar dari dalam mobil jauh sebelum Rachael sempat mencegahnya.

Kakinya melangkah cepat mendekati danau sementara Rachael masih duduk di kursinya, bergeming menatap keluar melewati kaca jendela mobil dan menyaksikan Elias mengayunkan senjata itu sebelum melemparnya ke dalam danau.

Suara desauan angin, derik pelan mahluk liar, dan barisan rumput yang bergesekan untuk sejenak mengisi kekosongan. Di kejauhan sana, hamparan rumput berbaris rata menyebar di antara bukit-bukit tinggi. Lolongan anjing liar terdengar dalam jarak puluhan meter jauhnya, kemudian hal terakhir yang didengarnya adalah embusan nafasnya sendiri. Elias tidak segera kembali ke dalam mobil. Ia hendak memberi ruang bagi mereka untuk dapat berpikir. Baru ketika langit sore di atasnya mulai bergulung, Elias memutuskan untuk bergabung kembali bersama Rachael di kursi kemudi.

Wanita itu enggan menatapnya. Tiba-tiba, ia kembali menjadi Rachael yang ditemuinya untuk kali pertama di rumah sakit jiwa. Tatapannya yang kosong terarah keluar jendela, bibirnya sedikit terbuka, dan nafasnya teratur. Kala Elias meletakkan satu tangannya yang dingin di atas tangan wanita itu, Rachael tidak menunjukkan reaksi apapun.

"Hei, itu sudah berakhir," bujuk Elias. "Aku memercayaimu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita bisa memulainya dari awal, anggap saja itu tidak pernah terjadi."

Tidak ada jawaban.

Dalam tiga puluh menit kedepan, mereka duduk berdiam diri dan menghadapi situasi yang sama sampai Elias memutuskan bahwa sudah saatnya mereka pergi meninggalkan tempat itu dan membawa Rachael kembali ke rumahnya. Elias yakin cepat atau lambat, wanita itu akan kembali berbicara dengannya. Seperti biasa, ia hanya melakukan apa yang diperlukan: memberi Rachael waktu.

Siapa bilang itu akan mudah? batinnya berbisik. Fokusnya terbagi pada jalanan di hadapannya dan wanita itu. Siapa sangka keheningan yang singgah di antara mereka berhasil membuat satu jam perjalanan untuk kembali ke rumahnya menjadi mimpi buruk yang paling mengerikan.

-

THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)


THE UNSEEN (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang