"Kau yakin tidak mau minum sesuatu? Aku bisa meminta seseorang membawakannya untukmu."
Elias tersenyum lebar seolah Abe baru saja mengatakan sesuatu yang konyol. Setahunya tempat itu tidak pernah bermurah hati untuk memberinya secangkir kopi atau teh. Pikirnya Abe berusaha membuat pertemuan mereka menjadi lebih nyaman bagi Elias, tapi Elias menatap ke sekelilingnya dan menyadari kalau ia tidak akan pernah merasa nyaman selama masih berada disana. Jadi Elias menggeleng untuk menolak tawarannya.
"Baiklah, sampai dimana kita tadi?"
"Gadis itu.."
"Ah, ya!" Abe membenahi posisi duduknya di atas kursi sebelum membetulkan kaca mata yang merosot di atas tulang hidungnya yang lurus. Ada sesuatu yang khas tentang cara laki-laki itu duduk selagi mendengarkannya. Abe akan menyilangkan satu kakinya di antara satu kaki yang lain, membiarkan punggungnya bersandar selagi mencari posisi nyamannya di atas kursi. Ia akan membenahi kaca matanya setiap beberapa menit sekali, seolah-olah gerakan itu sudah menjadi refleks alaminya. Kemudian kerutan di dahinya akan muncul setiap kali pertanyaan yang muncul di kepalanya tertahan di ujung lidah. Namun itu sekaligus menjadi hal yang membuat Elias merasa nyaman.
Elias dapat duduk berlama-lama di ruangan tertutup itu, berhadap-hadapan dengan Abe dan membuka pikirannya secara gamblang selagi tatapannya menelunsuri permkaan dinding kosong yang mengelilinginya. Jendela yang selalu tertutup rapat tidak mengizinkan kebisingan untuk masuk dan mengusik percakapan mereka, dan Abe lebih seringnya mendengar. Terkadang Elias berpikir laki-laki itu tidak nyata, ia hanyalah wujud lain dari pikiran kedua yang akan mendengarkan setiap kalimat yang disampaikan oleh pikiran pertamanya dengan hati-hati. Mungkin begitulah seharusnya seorang terapis bersikap. Mungkin satu-satunya hal yang perlu dipelajari untuk menjadi terapis yang baik hanyalah seni untuk mendengarkan orang lain.
"Jadi, apa yang membuatmu tertarik tentang gadis ini?"
Elias menunduk menatap lantai polos di bawah kakinya. Lampu yang menggantung di langit-langit menjadi satu-satunya sumber cahaya yang membanjiri seisi ruangan. Elias menekuk jari-jarinya selagi ia merasakan kehangatan menjalar ke setiap pori-porinya, kemudian pikirannya sibuk mencari-cari sebuah alasan untuk menjawab pertanyaan terakhir Abe. Apa yang membuatnya tertarik?
"Bukan apapun," katanya.
Abe tersenyum, tatapannya yang hangat sama sekali tidak menghakimi bahkan ketika ucapan berikutnya mengatakan sebaliknya. "Dia pasti berarti sesuatu jika kau masih mengingatnya."
"Mungkin, ya."
"Jadi?"
"Aku sering melihatnya berdiri di belakang jendela, dari hari ke hari."
"Apa yang dia lakukan?"
Kedua bahu Elias terangkat, tatapannya kosong sedang pikirannya berkelana ke sebuah tempat yang tidak berharap akan diingatnya kembali. Namun Elias mendapatinya dirinya akan terkurung di tempat itu, mencari-cari jawaban yang ia tahu tidak akan pernah ia temukan hingga detik itu, hingga kehidupannya berubah.
"Dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya menatap keluar jendela – dia melihatku berdiri di kebun rumah keluargaku, tapi ketika aku melambai, dia tidak membalas, tidak menunjukkan reaksi apapun. Baru aku sadar kalau dia tidak sedang mengamatiku. Pikirannya berada di tempat yang jauh."
"Siapa gadis ini?"
"Aku tidak tahu, dia tidak pernah memberitahu namanya. Tapi aku suka memikirkannya sebagai Madison, kupikir nama itu cocok untuknya. Dia pernah tinggal di seberang rumahku. Dia gadis kecil yang kesepian, tampaknya seperti dia menjalani kehidupan yang baik-baik saja. Tapi aku salah. Aku hanya tidak melihat apa yang dia sembunyikan. Dia tidak punya adik atau kakak, dia hanya sendirian dan dia suka menulis. Kadang aku melihatnya duduk dan menulis. Tapi bahkan ketika sedang menulis, dia suka melihat keluar jendela. Untuk gadis kecil seusianya, kupikir dia sedang membayangkan kehidupan di luar sana."
"Kehidupan apa?"
"Aku tidak tahu, kehidupan yang tidak dia miliki."
"Dan apa yang dia miliki?"
Elias menyipiskan kedua matanya, berusaha memikirkan kalimat yang tepat sebelum menyerah pada satu kata: "kesedihan."
Abe tersenyum lagi. Ketika Elias pikir laki-laki itu akan mengatakan sesuatu, ia justru terdiam.
"Dia bisa berdiri di belakang jendela selama berjam-jam, tidak melakukan apapun selain melihat ke luar. Terkadang dia menjadi objek yang tepat untuk lukisanku."
"Aku tidak tahu kau suka melukis?"
"Tidak terlalu sering," kilah Elias. "Hanya ketika inspirasi itu datang."
"Dan gadis ini.. sumber inspirasimu?"
Pertanyaan itu mengusiknya, namun Elias tidak dapat mencegah dirinya untuk tersenyum dan berkata, "kupikir begitu."
"Apa yang kau suka darinya?"
"Aku tidak yakin aku menyukainya, aku hanya penasaran – atau tadinya kupikir begitu sampai aku tahu apa yang diperbuat orangtuanya pada gadis itu."
Hening. Suara helaan nafasnya menggantung di udara. Dalam keheningan itu, Elias dapat merasakan suhu udara yang meningkat memicu bulir keringat bermunculan di atas dahinya. Namun tidak sepertinya, Abe dapat duduk dengan nyaman di atas kursi tanpa keinginan untuk membuka jendela dan membiarkan angin segar masuk dan menyikirkan hawa panas di dalam sana. Tapi seharusnya tidak ada yang salah dengan suhu udara di dalam ruangan, bahkan seharusnya suhunya menurun karena udara di sekitarnya mulai terasa dingin. Jadi itu pasti disebabkan oleh adrenalinnya. Jantungnya memompa udara lebih cepat dari yang seharusnya dan Elias dapat membaca tanda-tandanya dengan sangat mudah: tangan bergetar, jari-jari kaki yang menekuk, kedipan mata yang tidak beraturan.
"Cobalah untuk mengatur nafasmu!" pinta Abe dari tempatnya.
Elias memejamkan mata dan menuruti apa yang dikatakan Abe. Laki-laki itu benar, bukan karena ia selalu begitu, tapi karena Abe mampu membacanya dengan sangat baik, bahkan terkadang lebih baik dari dirinya sendiri.
Seperti dugaannya Abe adalah pikiran keduanya. Dan ketika bersamanya Elias dapat mengatakan apa saja.
"Kau tidak perlu menceritakannya sekarang jika kau tidak ingin."
"Aku ingin!" tegas Elias sembari menggertakan giginya dengan kesal. Persis seperti dugaannya, Abe menggeleng pelan. Laki-laki itu akan melawannya, tidak dengan cara keras, tapi entah bagaimana Abe selalu menang.
"Kau belum siap," ucapnya.
Elias hendak menggeleng keras, tapi jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa laki-laki itu selalu benar.
-
THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)
![](https://img.wattpad.com/cover/310672342-288-k591699.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Mistério / SuspenseRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...