Hujan deras mengguyur permukaan jalanan malam itu. Elias memarkirkan mobilnya di depan gerbang putih setinggi tiga meter yang membatasi halaman depan bangunan megah dengan jalanan di depannya. Ia duduk menempati kursi pengemudi selagi menunggu kemunculan seseorang dari balik gerbang itu. Sembari mendengarkan saluran radio, Elias mengamati bangunan bertingkat yang berdiri di atas bukit itu. Cat dindingnya yang berwarna putih telah memudar, kaca jendelanya rusak, beberapa ada yang pecah. Pintu utamanya ditutup rapat sedangkan lampu di bagian terasnya dibiarkan menyala. Lampu itu menyorot pada lorong kosong di dalamnya.
Di samping kanan, ada sejumlah dahan pohon yang ditumpuk secara asal. Rumput di pekarangannya telah memanjang setelah lama tidak dibabat. Elias juga berani bertaruh, kolam di bagian belakang bangunan itu pasti telah diselimuti oleh sampah dedaunan kering yang berguguran.
Di halaman depan, persis di sayap kiri bangunan, ada tangga besi yang mengarah ke sebuah ruangan yang dibangun khusus untuk praktik. Ruangan itu baru dibangun satu tahun setelah sang pemilik membeli rumah itu. Di depannya ada sebuah papan kecil bertuliskan, tempat praktik Dokter Rachael Simone, yang dicetak dalam huruf kapital.
Rachael dan Denise pernah tinggal disana - bangunan yang menurut Elias terlalu besar untuk ditempati dua orang saja. Namun bangunan itu dulunya tidak hanya dijadikan sebagai rumah, melainkan juga tempat praktik terapi milik Rachael. Beberapa pasien pernah datang kesana sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi. Kini, tempatnya tampak kosong dan gelap. Garis kuning polisi yang pernah dipasang di halaman depan telah menghilang, dan seseorang menancapkan papan tanda dijual di dekat gerbangnya.
Setelah satu tahun berlalu, tidak ada orang yang mau mendekati bangunan itu, Tidak jika masih ada bau darah dan sisa-sisa pembunuhan yang terjadi disana. Dan ketika Elias mencoba menghubungi nomor telepon agen perumahan yang tertulis dalam papan tanda dijual itu, seseorang yang memiliki suara serak menjawabnya dengan senang - seolah-olah itu adalah panggilan pertamanya setelah satu tahun berlalu.
"Apa aku berbicara dengan Silas Randall?" tanya Elias.
"Ya, aku sendiri."
"Aku Elias Kermitt, aku mendapatkan nomormu dari papan tanda dijual yang kau pajang di halaman depan rumah pasangan Simone."
"Oh, ya, ya!" laki-laki itu terdengar antusias. "Jadi kau tertarik untuk melihat rumahnya?"
"Tidak sebenarnya aku terapis Rachael dari rumah sakit jiwa."
"Oh.." ada kekecewaan dalam suara itu yang membuat Elias menggaruk-garuk kepalanya dengan tidak nyaman. "Kau terapis Rachael? Apa yang bisa kubantu?"
"Ya. Aku hanya ingin tahu, apa aku diizinkan masuk ke dalam rumah ini untuk melihat-lihat? Rachael menginginkan aku untuk mengambil beberapa barang miliknya."
Tidak ada jawaban.
"Dan jangan khawatir, aku juga membawa surat yang dia tulis sendiri sebagai buktinya. Dia mengatakan kalau rumah ini masih miliknya." Elias menegaskan kalimat terakhir itu sehingga Silas tidak punya pilihan selain menanggapinya.
"Ya, kepemilikan rumah ini memang masih atas namanya karena Racahel belum menandatangi apa-apa. Tapi orangtua Denise ingin menjualnya, jadi.."
"Aku mengerti, aku hanya akan menyelesaikan urusanku, kemudian pergi. Kau bisa memegang kata-kataku."
Demikian panggilan telepon itu berakhir. Sore menjelang malam, Elias langsung mengendarai mobilnya menuju kediaman pasangan Simone. Ia sampai disana ketika langitnya sudah gelap dan hujan baru saja mengguyur jalanan. Sepuluh menit setelah menunggu di dalam mobilnya, seseorang muncul di dekat gerbang. Ia mengenakan jaket hitam dan membawa sebuah payung bersamanya. Ketika pria itu melambaikan tangan, Elias segera mematikan mesin mobilnya kemudian bergerak turun mendekati gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Mistério / SuspenseRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...